Saat Ibu Tak Kembali

Dilihat : 497

 

Masih sangat jelas kepulan ingatanku tentang seorang wanita yang paling kukagumi di dunia ini. Netra legamnya yang sering dianggap sayu oleh kebanyakan orang menyimpan percikan animo pada tiap tatapannya. Tutur katanya nan lembut sering disalahartikan sebagai lembek. Sedang tubuh mungilnya kerap diidentikkan dengan lemah.

Tak begitu. Penilaian atas dirinya sangat bertolak belakang dengan kenyataan yang beliau tunjukkan padaku. Serupa pahlawan, tapi kusebut ia ibu. Ibu selalu menjadi yang terkuat diantara kami. Siap sedia memasang tubuhnya untuk buah hati tercinta, selagi kami benar-benar bisa membuktikan bahwa apa yang kami lakukan tidak keliru.

Pernah suatu hari seorang tetangga datang sembari memaki dengan hebatnya. Sambil menarik adikku yang tengah menangis ia memekik di hadapan ibu, “Ajari anakmu ini! Berani-beraninya dia pukul anakku, mau jadi apa besar nanti?! Preman?! Atau tukang jotos?!”

“Bu, bisa tolong lepaskan anak saya? Biar saya tanyakan dulu kepada dia tentang apa yang sebenarnya telah terjadi,” ucap ibu dengan nada lirih. Begitu tetanggaku tadi melepaskan genggamannya, ibu langsung bersimpuh, memegang pundak adikku dengan kedua tangannya.

“Apa yang kamu lakukan, nak? Jawab yang jujur ya, nak. Biar ibu tau kebenarannya. Kamu yang memang berbuat salah atau bukan.”

Adikku tak langsung menjawabnya, ia kembali sesenggukkan. Namun, ibu mengulang pertanyaan yang sama hingga beberapa kali. Nyaris tak berhenti sampai akhirnya adikku menjawab dengan tersedu, “Adit mau pinjam mobil-mobilan punya Rega, bu, tapi nggak boleh. Rega dorong Adit, dia bilang kalau keluarga kita miskin dan jijik. Rega juga berkata kalau mbak Roro itu gila, Adit nggak suka!”

Dari balik pintu sempat kudengar ibu menghela napas, lalu menyapu air mata yang mengalir pada pipi Adit. Kemudian beliau bertanya, “Lalu apa yang kamu lakukan kepada Rega, nak?”

“Kudorong dan kupukul dia, bu.” Adikku menjawab dengan tersedu-sedu.

“Nah, dengar itu! Anakmu berani-beraninya memukul anakku! Mau kulaporkan ke kepala desa biar dibawa sekalian ke kantor polisi, hah?!”

“Bu Asri, ibu juga sudah dengar penjelasan anak saya tadi kan? Saya memang tidak membenarkan perbuatan anak saya karena sudah memukul anak ibu, tapi bukan berarti anak ibu benar. Rega lebih dulu mendorong Adit dan mengatainya. Dan keluarga macam mana yang rela kalau keluarga lainnya diperolok sedemikian rupa? Adit membela kakaknya yang dikatai gila, begitu pula dengan saya yang akan dan  membela anak-anak saya selagi mereka tidak berbuat salah.”

“Halah, sudah! Pokoknya saya nggak mau tau! Perkara ini akan saya laporkan ke pak kepala desa,” ancam bu Asri.

Mendengar pernyataan dari bu Asri barusan ibu tak gentar sedikit pun. Ibu membalas, “Silakan saja, bu. Saya tidak takut. Anak saya melakukan hal tersebut sebagai bentuk pembelaan. Termasuk membela kakaknya yang diperolok gila oleh anak ibu.”

“Oke! Kamu jangan lupa ya, saya ini juga masih kerabatnya pak kepala desa! Lihat saja nanti!”

Usai melayangkan gertakan terakhirnya bu Asri berlalu. Mengetahui aku sedari tadi mengintip dari balik pintu, ibu memilih untuk bungkam. Tak ada guratan kemarahan pada raut wajahnya dan malah menawari kami segelas tajin hangat yang telah ia siapkan. Lalu sambil terduduk ibu memandangi kami secara bergantian. Satu per satu dimulai dari mbak Roro, aku dan Adit.

“Ingat baik-baik nasihat ibumu ini ya, nak. Adab dan sopan santun itu wajib kalian terapkan pada semua orang. Bukan hanya kepada si kaya, si pemegang jabatan, yang memakai pakaian bagus atau punya wajah yang tampan serta cantik. Tapi untuk semuanya. Ibu percaya kalian anak-anak yang baik, jujur, sopan dan pintar,” ujar ibu.

Aku dan Adit mengangguk, mencerna dan mengingat perkataan ibu.  Sedangkan mbak Roro masih fokus dengan minuman yang ada di gelasnya. Senja dimasa kami kecil kala itu, ditutup dengan sebuah garis lengkung yang terpahat indah di bibir ibu.

***

“Mbak Rita, bagaimana ini? Mbak Roro tidak mau makan kalau belum telepon ibu.” Lamunanku buyar usai mendengar suara Adit yang baru saja masuk ke kamarku.

Kulirik layar handphone yang menunjukkan pukul tujuh belas. Entah sudah berapa lama aku merenung di sudut kamarku. Tanganku bahkan sampai berkeringat karena terlalu lama menggenggam handphone dan menatap semu pada sebuah nama kontak, yang kuharap akan mengangkatnya jika kuhubungi ia detik ini juga.

“Mbak, apa pihak rumah sakit menghubungi lagi?” Adit bertanya dengan tatapan cemas. Aku tersenyum, berusaha untuk menunjukkan sisa-sisa ketegaran yang kumiliki.

“Nggak kok, dek. Kamu sudah makan?”

“Belum, mbak.” Jawabnya singkat.

“Loh, kok belum?” tanyaku lagi pada Adit.

“Nanti saja, mbak. Aku makan bareng mbak Rita,” ujarnya.

“Yasudah, nanti kita makan bareng ya? Mbak Roro dimana?”.

“Di kamarnya, mbak,” jawab Adit.

“Makasih ya, biar mbak yang bujuk.”

Langkahku nyaris mencapai ambang pintu, sebelum tangan Adit menahannya. Ia kemudian berkata, “Makasih ya, mbak, karena sudah bersedia merawat kita.”

“Kamu apaan sih, Dit? Tumben.” Ledekku.

“Intinya aku hanya ingin bilang makasih, mbak. Jangan lupa jaga kesehatan juga.”

Entah mengapa perkataan Adit barusan bisa membuatku merasa lebih tenang.

 “Haha, adikku sudah besar rupanya. Terimakasih ya, dek. Tapi, jangan lupa terapkan ke diri sendiri juga ya? Kita semua harus kuat dan jangan sampai drop, tiga hari lagi masa karantina kita selesai, semoga hasilnya negatif. Lalu kita bisa ziarah ke makam ibu.”

Ya, sebab beberapa waktu lalu kami baru saja menyaksikan proses pemakaman ibu melalui video call. Hingga detik terakhir kami tak dapat bertemu dengannya, bahkan untuk sekedar mengantarnya ke tempat peristirahatan terakhirnya. Mendengar kabar duka yang menyayat hati ‘itu’ pun kami hanya bisa terdiam. Menyembunyikan tangis kehilangan, sebelum menemukan tempat untuk meluapkannya pada sudut ruangan yang tak dapat terdengar atau pun terlihat oleh mbak Roro.

“Tapi mbak, kapan kita bilang ke mbak Roro kalau ibu sudah ... “

“Ibu sudah apa? Ibu sudah pulang? Sudah kembali? Mana? Aku mau disuapi ibu!” Kami cukup kaget dengan kedatangan mbak Roro yang tiba-tiba. Padahal biasanya acap kali mbak Roro berjalan, derap langkahnya yang perlahan namun berdentam akan kami kenali.

“Belum, mbak. Ibu masih kerja dan belum kembali. Sekarang mbak Roro makan, yuk! Rita yang suapi,” ajakku.

“Tidak mau! Pokoknya harus sama ibu!” Mbak Roro merengek.

“Mbak, sama Rita dulu ya? Besok kalau ibu sudah ... kembali ....“ Lidahku mendadak kelu. Kukira untuk meneruskan kalimat tersebut akan terasa sangat mudah.

“Nggak mau! Maunya ibu, bukan Rita! Aku benci Rita!”

“Mbak Roro! Mbak kira Rita nggak capek membujuk mbak Roro terus tiap kali mau makan?! Rita capek mbak!” Seolah lelah dan tak kuat dengan keadaan, tak sengaja aku berteriak ke arah kakakku. Tak butuh waktu lama untuknya berlinangan dengan air mata.

Sontak aku teringat dengan perkataan ibu dahulu. Beliau berujar, ‘Rit, nanti kalau ibu sudah tiada tolong rawat kakakmu seperti ibu merawatnya ya? Meskipun orang bilang kakakmu gila, tapi kakakmu tidak gila, Rit. Mbak Roro itu anak berkebutuhan khusus yang sangat spesial. Kado untuk kita semua di keluarga ini. Sayangi dan kasihi dia dengan tulus.’ Saat itu aku mengangguk sambil menatap ke arah mbak Roro yang tengah tertawa seorang diri sembari memainkan botol bekas.

“Aku mau sama ibu! Aku mau ibu pulang!!”

Betapa bodohnya aku karena melupakan hal tersebut. Kudekap erat mbak Roro dan mengelus punggungnya perlahan agar ia sedikit tenang. Kemudian aku berkata, “Mbak, maafkan Rita ya? Tadi Rita nggak sengaja membentak mbak Roro. Sekarang kita makan yuk? Nanti kalau mbak Roro tidak makan kita harus karantina lebih lama dan nggak bisa bertemu dengan ibu.”

“Kalau mbak makan, bisa ketemu ibu?”

“Ya, kalau sudah sembuh kita ke tempat ibu bersama-sama,” jelasku.

Mendengar perkataanku barusan mbak Roro langsung mengajakku untuk pergi ke dapur dan mengambil makanan. Tak lupa kutarik tangan Adit agar ia ikut makan bersama kami. Maafkan aku mbak Roro, karena masih menjadi si payah dan pengecut yang belum bisa mengatakan semuanya saat ini. Tapi yakinlah, meski ibu tak kembali rasa sayangnya pada kita tak akan pernah berhenti.

 

Yuni Ayuning S.