Perpisahan akan selalu ada

Dilihat : 610

Serius kamu bakal pindah, Ta?” Aku tanya dengan tidak kepercayaan.

“Iya, Zal. Aku akan pindah minggu depan,” jawab Wita, sahabatku.

Hening. Aku tidak percaya ini. Tidak sangka akhir pekan ini akan menusuk hatiku. Satu-satunya sahabatku akan pergi untuk berpindah rumah. Meninggalkanku.

 “Kalau kamu pergi, aku main sama siapa?” Air mata mulai turun ke pipiku saat aku bertanya. Seolah-olah aku membujuknya untuk tidak pergi. “Wita, serius gak ada jalan yang lain?” Aku tanya lagi. Aku berusaha melemparkan solusi kepada Wita tapi sepertinya tidak ada yang ditangkap olehnya. Mungkin saja aku berusaha terlalu keras. Jawabannya iya. Aku merasa tangan ibuku menyentuh pundak kiriku seolah-olah memberi tahuku untuk berhenti.

 “Udah, nak. Mungkin emang udah ga ada cara lain,” kata ibuku. Akhirnya, aku berhenti. Aku menatap kakiku lalu ke mata Wita.

“Maaf ya, Ta aku membujuk kamu terus. Kamu mau pindah kan? Ya sudah aku dukung saja. Semoga bahagia ya,” aku memeluk sahabatku dengan mataku banjir dengan air mata.

“Terima kasih, Zal. Aku juga minta maaf kita gak bisa main bareng lagi,” jelas Wita.

“Gapapa,” jawabku dengan singkat. Tapi jauh di lubuk hatiku, aku tahu itu jauh dari baik-baik saja.Namun, aku harus tetap kuat dihadapannya. Kita melepaskan pelukan kita dan aku melihatnya jalan pergi ke orang tuanya. Mereka memberiku dan ibuku anggukan yang kami kembalikan. Setelah itu, mereka menaiki mobil mereka dengan Ayah Wita yang menyetir, Ibu Wita disebelahnya dan Wita di belakang. Kita melambai satu sama lain dan aku bisa melihat mereka pergi sampai mereka tak terlihat.

“Ayo kita pulang, nak,” panggil ibuku. Tangan kirinya masih terletak di pundakku. Aku mengangguk dengan pelan dan kita kembali ke rumah.

***

Setelah pulang, ibuku menemukanku terlihat sangat sedih di kamarku sendiri. Aku tidak kaget bahwa ibuku melihatku seperti ini karena itulah suasana hatiku selama perjalanan pulang.

 “Zalfa, kamu kenapa?” tanya ibuku dengan khawatir. Sepertinya ibuku sudah tahu dengan jawaban dari pertanyaan itu karena ibuku semakin mendekat dan menepuk punggungku. “Ibu mau ngingetin aja kamu jangan terlalu sayang sama orang. Ketika orang itu meninggalkanmu, pasti akan sakit banget. Makanya jangan terlalu attached ya sama orang. Mau siapa pun itu.”

 

Setelah mendengar kata-kata ibuku. Aku memutuskan untuk mendengarkannya. Aku berharap untuk bisa move on dan tidak akan terlalu attached dengan persahabatan selanjutnya.

***

Dua bulan sudah berlalu dan prisangkaku benar. Aku bertemu dengan gadis yang bernama Tari dan sepertinya ingin sekali menjadi temanku. Tentu saja aku terima. Akan tetapi, kata-kata ibuku tetap terletak di pikirianku: Jangan telalu attached.

“Zalfa, kita ke Kopikitaku yuk! Sudah lama kita belum ngobrol-ngobrol lagi,” ajak Tari dengan senyuman lebarnya.

“Gak bisa, Ri. Aku ada rencana,” jawabku dengan dingin. Aku menyimpan headsetku ke tas samping yang awalnya mengalungkan leherku. Dari sudut mataku, aku bisa melihat senyumnya hilang setelah mendengar kata-kataku.

“Kamu kenapa suka gini terus sih sama aku?” tanya Tari.Aku bisa mendengar kegohayaannya di dalam suaranya. ”Bilang aja dari awal kamu gak mau temanan sama aku.” Aku membuka mulutku untuk menjawab tetapi, ibuku secara tiba-tiba menanya kabar ke Tari.

“Tari apa kabar?” Ketika ibuku ingin berlanjut berkata, ia kaget melihat mata Tari yang berkaca-kaca. ”Eh Tari, kamu kenapa?”

“Gapapa, Tante,” jawabnya.

“Oh ya. Tari, katanya mau hangout sama Zalfa. Mau kapan jadinya?” tanya ibuku.

“Gak jadi, Tante. Zalfanya juga gak mau main sama aku lagi,” jelas Tari dan air matanya  akhirnya telah mengalir saat dia jalan pergi meninggalkanku dan ibuku. Lalu, ibuku menatapku dengan tidak kepercayaan.

“Apakah benar, nak?” Aku menunduk.

“Iya.”

“Kenapa? Padahal dia sudah baik banget sama kamu,” ujar ibuku. Dia menghela nafas. ” Ibu inget kok tentang perkataan ibu sebelumnya.”

“Jadi harusnya gimana? Terlalu attached salah, gak terlalu deket juga salah,” aku merasa emosi aku meningkat.

“Iya, tapi bukan gitu caranya. Seharusnya ketika kamu sadar persahabatan pasti ada perpisahan, kamu harus menghabiskan waktumu untuk membuat kenangan indah yang sebanyak mungkin karena kau tahu kesempatan untuk mengalami persahabatan yang indah tidak akan kau dapatkan dua kali bukan ngejauhin agar tidak tersakiti,” jelas ibuku. Di saat itu, aku sadar bahwa aku telah membuat kesalahan yang besar.

“Aku harus minta maaf kepada Tari,” pikirku. Aku berterima kasih ke ibuku dan mengeluarkan ponselku secepat kilat untuk menelepon Tari.

Dring… Dring…

Ponselku memanggil ponselnya. Setelah empat kali berbunyi, akhirnya Tari menjawab telponku.

“Tari!” seruku.

“Ada apa, Zal?” ia jawab dengan intonasi yang tidak bersemangat.

“Ri, aku benar-benar minta maaf dengan kelakuanku tadi. Alasan mengapa aku begitu karena aku sebelumnya pernah kehilangan sahabat yang aku sayang sekali dan bagiku itu sungguh menyakitkan. Lalu, aku menjaga batas denganmu agar tidak terjadi lagi. Tapi, aku sadar itu juga salah, Ri. Maafkan aku,” jelasku dengan rinci agar dia mengerti.

“Hmm… Ya sudah. Aku maafin,” Sebuah senyuman muncul di mukaku dan aku sangat bersyukur. Dari situ, aku belajar bahwa perpisahan akan selalu ada di setiap perkenalan.