Maaf Ayah, Aku Tak Mampu

Dilihat : 167

Semua berawal ketika usiaku telah menginjak 17 tahun. Kehidupanku berubah. Tak ada lagi kehangatan dalam keluarga. Tak ada lagi gelak tawa dalam setiap cerita di ruang tengah. Tak ada lagi ibu yang selalu siap dengan masakan lezatnya. Tak ada lagi ayah yang selalu mengisi hari dengan leluconnya. Semua itu hilang, tertelan peristiwa yang menyakitkan. Ayahku berubah menjadi orang paling pengecut yang pernah ku kenal. Kesalahannya tak mampu ku maafkan. Bahkan, aku tak ingin mengenalnya lagi.

                Malam itu adalah malam pertama setelah kepergian ibuku. Beliau meninggal akibat mengindap penyakit kanker yang menggerogoti rahimnya selama 10 tahun. Penyakit itu datang beberapa tahun setelah kelahiranku, yang menyebabkan aku menjadi anak tunggal. Semua pekerjaan rumah secara otomatis menjadi tanggung jawabku. Kesibukan baruku ini tak begitu mengganggu sekolahku. Biarlah lelah tapi aku tetap senang hati menjalankannya.

                Ku kira rasa kabung ayahku akan segera pulih,namun kenyataannya tidak. Berhari-hari ia mengurung diri di kamarnya. Tak ada sedikit pun suara yang keluar dari mulutnya, untuk sekedar menyapaku saja tidak. Aku mulai bingung dengan tingkah laku ayah.’Jangan-jangan,ayah memiliki masalah lain selain sedih karena kepergian ibu, mungkin aku harus menyelidikinya’, pikirku.

                Di suatu siang, selepas sekolah, aku mengetuk pintu kamar ayah untuk mengantarkan makan siang. Beberapa kali ku ketuk, tak ada satu pun sahutan. Akhirnya aku buka pintunya dan ternyata ayah memang tidak ada di dalam. Seketika, rasa penasaranku bergejolak untuk mencari tahu masalah ayah. Aku pun mulai memerikasa dokumen-dokumen ayah dan ternyata,”Ya Allah!”lirihku. Ku baca dengan seksama, ternyata itu adalah surat kredit bank dengan jumlah pinjaman yang cukup besar. Segera ku rapihkan dokumen tersebut takut ayah tiba-tiba datang.

                Esoknya,aku beranikan diri untuk menanyakan perihal keadaan ayah, “Ayah, apakah ayah baik-baik saja?”. Tak ada jawaban yang keluar dari mulutnya. Aku pun mencoba bertanya kembali,”Apa yang membuat ayah menjadi seperti ini? Aku rindu ayah yang dulu, ayah yang selalu menyapaku di setiap pagi, mengecup keningku ketika aku pamit sekolah, bercengkrama di ruang tengah, dan melakukan segala rutinitas kita. Aku juga bingung, mengapa ayah tak bekerja lagi? Apa karena utang-utang ayah di bank yang membuat ayah menjadi seperti ini?”.”CUKUP RHEYNA!”, bentak ayahku. “Darimana Kamu tau soal utang itu?”. Aku diam, seketika keadaan menjadi tegang. “Ma... maaf yah, aku kemarin liat-liat dokumen ayah” jawabku gemetar. ”Kamu tahu Rheyna kenapa Ayah punya utang sebanyak itu?”. Ayahku bertanya ketus dan aku hanya menggeleng tidak tahu. “3 tahun lalu Ibumu memaksa ayah untuk membeli butik milik orang China. Tapi sekarang apa? Ibumu meninggal dan butik itu bangkrut. Ayah sudah dipecat dari kantor ayah karena dituduh mencuri uang perusahaan, apa yang harus ayah lakukan, Rheyna? Mencari pekerjaan baru itu tidak mudah”. Suara ayah terdengar parau, menahan tangis. Akau pun tak kuasa membendung air mataku setelah mendengar penjelasan ayah. Tak pernah terbayangkan Ayah sedang dalam masalah besar seperti ini. Ku peluk tubuh ayah, ku rasakan betapa perihnya ayah menahan kenyataan pelik ini sendirian. “Ayah, Rheyna janji akan membantu ayah. Rheyna akan berusaha mencari pekerjaan, yah…walaupun hanya pekerjaan kecil-kecilan aja”. “Terima kasih ya, Rheyna”.Ia pun mengecup keningku.

                Usai mengerjakan PR, aku bergegas menuju dapur untuk mengambil makan malam. Ku lihat ayah tengah berbincang dengan seorang pria yang terlihat sebaya dengannya. ‘Mungkin itu teman ayah’pikirku.”Rheyna, sini nak!” panggil ayah. Aku pun menghampirinya. “Kenalkan ini Om Ari. Dia teman SMA ayah .Nanti kamu akan bekerja dengan om ini” jelas ayahku. Aku hanya tersenyum sembari mengulurkan tangan “Halo Om!”sapaku singkat. “Rheyna, mulai besok kamu sudah mulai bekerja ya, dari jam 08.00 sampai jam 10.00 malam. Besok, om akan datang untuk menjemput kamu dan jangan lupa tampil secantik mungkin, oke?”jelas Om Ari. Kepalaku hanya mengangguk tanda menyetujui. ‘Apa pun akan ku lakukan demi ayah’ matapku dalam hati.

                Keesokannya, tepat pukul 08.00 malam, om Ari datang. Aku pun langsung pamit pada ayah dan bergegas menuju mobil yang dibawa Om Ari. Di perjalanan, Om Ari banyak bertanya tentang sekolahku. Selang beberapa waktu, akhirnya kami tiba di sebuah hotel ternama di kotaku. Tiba-tiba,Om Ari menggandeng tanganku dan berbisik “Temani om, Rheyna. Tugas kamu adalah melayani om dengan baik, ayo!”.Degup jantungku seakan terhenti, mataku terbelalak kaget mendengar ucapan yang kian memalukan itu.

                Ketika sampai di rumah, air mataku deras menghujani pipi. Lidahku kelu ketika ku tatap ayah berdiri di ambang pintu. Tanpa peduli, ku lewati ayah begitu saja dan segera menuju kamarku. Ku banting pintu kamar sekeras mungkin. Dadaku sesak menahan kekecewaan ini. Hatiku terlanjur hancur setelah menerima kejadian memalukan ini. Ku dengar langkah kaki ayah mendekati kamarku .Krieek…Pintu kamarku terbuka, “Rheyna, sayang. Maafkan ayah ya nak”,  mohon ayah sambil memelukku. Aku hanya diam dan bergeming. Emosiku membuas, menguasai tubuhku. “Aku nggak percaya ayah bakal melakukan hal keji ini. Hanya demi lembaran uang ayah rela menjual kehormatanku. Awalnya aku berjanji dan tulus ingin memebantu ayah, tapi maaf yah, aku harus mengingkari janjiku. Terima kasih banyak yah, atas perjuangan ayah selama ini. Tapi maaf, mulai detik ini saya tak sudi menjadi anak anda lagi! Permisi”. Aku langsung berlari, pergi meninggalkan rumah yang penuh kenangan itu. Aku berjanji pada diriku untuk tidak akan pernah kembali ke rumah itu dan berharap tidak akan bertemu dengan lelaki khianat itu.

                Jalanan lengang terus ku susuri, entah kemana arah tujuanku berakhir nanti. Hingga akhirnya ku putuskan untuk berhenti di sebuah kedai kopi yang sudah tutup. Aku kelelahan. Sayup-sayup mataku terpejam. Tiba-tiba ada suara yang mengagetkanku,”Rheyna, sedang apa kamu disini?”, “Bu Ifa”, sahutku palan.”Kamu terlihat kelelahan sekali, ayo ibu antar kamu pulang ke rumahmu”.Sontak ku jawab, “Aku tidak mau pulang ke rumah, bu!”.”Memangnya ada apa?”, tanya Bu Ifa. Aku hanya menggeleng.”Yaudah,malam ini kamu ke rumah ibu dulu, nanti kamu ceritakan ya, apa yang terjadi sebenarnya”pinta Bu Ifa.”Iya bu”jawabku.

                Sejak saat itu, aku akhirnya tinggal di rumah Bu Ifa, kapala sekolahku. Keluarganya sangat menerimaku sehigga aku sudah dianggap seperti bagian dari keluarga Bu Ifa. Langit mendung, aku menekuk lutut di samping pusara ibu. Menangis dalam derai doa dan mengadukan segalanya. Tak akan pernah ku lupakan nasehat ibu bahwa kehormatan seorang wanita merupakan mahkota yang paling berharga.

 

Shabrina Aulia Adam