Cabai

Dilihat : 174

Namaku Mina, Aku tinggal di sebuah rumah kecil bersama Ibuku. Aku sudah tidak sekolah, hal ini  dikarenakan Ibuku sudah tidak mampu membayar biaya sekolahku. Keseharian ku adalah menjadi pemulung sampah plastik, terkadang Aku menemukan buku-buku yang masih layak untuk dibaca dan Aku akan mengambilnya untuk ku baca di rumah.

Suatu hari, saat Aku pulang dari memulung aku bertemu dengan sekelompok ibu-ibu yang sedang mengiris Cabai, awal nya aku tidak menghiraukan hal itu tapi kemudian Aku berpapasan dengan seorang Ibu yang terlihat membawa sekantong Cabai, lalu ibu itu berkata padaku,

 “Ini Mina ya?! Anak Ibu Naimah.”

“Oh iya Bu, Saya Mina!”

Lalu Ibu itu pun menjelaskan bahwa dirinya bekerja sebagai seorang pemilik sebuah restoran besar di Kota Baru. Ibu itu menawarkan pekerjaan untukku. Pekerjaan itu adalah mengiris Cabai seperti sekelompok ibu-ibu yang tadi ku lihat. Ibu itu mengizinkanku meminta izin dahulu kepada Ibuku. Aku hanya mengangguk diam, tersenyum tipis.

Keesokan harinya Aku pun pergi menemui ibu itu lagi. Akhirnya tahu bahwa Ibu itu bernama Bu Rubaidah atau yang biasa dipanggil Bu Idah. Aku diantar ke tempat di mana aku akan bekerja. Rupanya aku ditugaskan bekerja di sebuah rumah sederhana. Rumah tersebut terdapat banyak jendela dan tentu saja meja-meja tempat mengiris Cabai.

Hari itu juga aku akan memulai pekerjaanku sebagai pengiris Cabai. Aku bertemu banyak orang baru di sini. Ada yang seusiaku dan ada juga sudah ibu-ibu. Di sana aku mendapat seorang teman baru yang bernama Karina. Dia dan Aku hanya beda 1 hari saja tanggal lahirnya, hal ini membuat kami merasa lebih dekat dan akrab.

Keesokan harinya, Aku menceritakan tentang pekerjaan baruku kepada Ibu, lalu ibuku pun berkata,

 “Syukurlah, kalau kamu bisa bekerja dengan baik di sana, jangan sampai mengecewakan kebaikan Bu Idah.”

“Baik, Bu.” Aku pun segera izin untuk Kembali bekerja.

Hari itu berjalah dengan baik seperti biasanya, Aku pun semakin tertarik dengan pekerjaanku itu. Hingga satu bulan berlalu dan hari ini aku akan mendapat upah pertamaku. Aku sangat bersemangat. Saat aku sampai di rumah Bu Idah aku sangat terkejut karena sangat banyak orang di rumah itu, orang orang itu sedang mengantri untuk mengambil upahnya. Saat giliran ku, Aku menerima hitungan upahku dari pekerjaanku sebulan penuh. Tidak ku sangka ternyata cukup besar jika dibandingkan dengan penghasilanku memulung. Aku bersyukur dan berterima kasih kepada Bu Idah.

Langkahku ku percepat agar bisa sampai ke rumah. Ingin sekali Aku kabari Ibuku sesegera mungkin. Sesampainya Aku di rumah, Ku letakkan amplop berisi upahku.

“Apa ini Mina?”

“Upahku, Bu! Bukalah, ini untuk Ibu!”

Ibuku membuka amplop berisi upahku, namun Ia malah tertunduk dan meneteskan air mata.

“Maafkan Ibu, Mina membuatmu ikut lelah membantu mencari uang.”

“Ibu…”, Aku tak bisa berkata-kata lagi. Aku ikut terhanyut dengan Bersama isak lirih tangis Ibuku.

 Malam itu aku tidur di samping ibuku, sambil dipeluknya dalam hatiku terus berharap semoga Ibu sehat dan akan terus bersamaku hingga nanti Aku besar nanti.

Keesokkan harinya, Aku dibangunkan oleh ibuku untuk segera mandi dan sarapan. Saat Aku ke meja makan, Aku sangat senang karna ibuku memasak makanan favoritku yaitu telur dadar dengan nasi hangat dan sambal kecap. Seusai sarapan aku pamitan dengan ibuku untuk pergi bekerja. Diperjalanan Aku bertemu dengan Karina. Kami berjalan bersama ke tempat kami bekerja, sesampainya disana suasana dan aroma pedasnya cabai seperti menyambut kami untuk bersemangat bekerja. Banyak ibu-ibu yang mengobrol sambil mengiris Cabai. Ada juga yang membawa anak-anak mereka yang masih balita karena di rumah tidak ada yang menjaganya.

Waktu terus berjalan hingga saatnya pulang kerja, tak seperti biasanya, Ibuku sudah menungguku di depan rumah.

“Tadi Ibu baru selesai masak, hari ini Ibu buatkan Sayur Asam dan tempe goreng!”

“Wah, pasti enak, Bu!”

Bersegeralah Aku mandi dan mengganti bajuku, Hari-hari mengiris Cabai memang melelahkan, hari-hari yang memberiku aroma pedas yang membekas kadang hingga terasa sampai malam. Tapi mengingat Ibuku, semua tak terasa berat. Suatu hari nanti, pekerjaan ini akan membawaku ke takdir yang lebih baik, karena belajar darinya akan pedasnya perjuangan. Perjuangan Ibuku membesarkan Aku, perjuangan aku menggapai cita-cita dan mimpiku.

 

Cabai,

Kelak pedasmu yang membakar kulit jemariku saat mengiris

Akan menjadi penguat hatiku hingga kutoreh cita-cita dan mimpiku setinggi langit

 

Mikailla Miza Sadat -11 tahun