Bertemu, Bercengkerama, Lalu Berpisah

Dilihat : 133

Manusia adalah makhluk sosial. Mereka bertemu, bercengkrama, hingga sampai di tahap akhir; berpisah. Lalu kembali lagi ke tahap awal. Semua ini tak akan luput dari kehidupan. Mereka menutup mata dan telinga mereka rapat-rapat ketika membahas perpisahan; mimpi buruk yang selalu terjadi.

Semuanya aku curahkan dalam kisah ini. Dimana aku mendapati seorang teman dari negara yang aku singgahi, dan hukum alam berkehendak untuk memisahkan kita.

Sebelum memulai kisah ini, biarkan aku memperkenalkan diriku dahulu. Namaku Alzaira Kirana, perempuan. Usiaku enam belas tahun. Ayahku meninggal dunia ketika aku berusia delapan tahun. Kami mendapatkan kemerosotan ekonomi dan sukar untuk melanjutkan hidup. Dari situlah aku mulai belajar dengan giat, dengan harapan tidak membebani pikiran ibuku yang sedang tengah mencari nafkah untuk menghidupi keluarga kami

Aku tidak terlalu mementingkan dunia pertemanan, aku terus fokus belajar. Sampai aku menyadari bahwa aku merasa kesepian. Bicara empat mata dengan ibuku setiap hari tidaklah cukup untuk membuatku tidak merasa kesepian. Seperti ada sesuatu yang kurang dalam diriku. Akan tetapi, semua hasil usaha dan kerja kerasku terbayarkan. Aku mendapatkan studi banding untuk semester satu di kelas sebelas. Pertukaran pelajar ke Negara Sakura, alias Jepang. Sebuah pengalaman yang tak akan pernah kulupakan dalam hidupku.

Kutuliskan kisah pertemuan, hingga perpisahanku dengannya. Seorang perempuan dengan tingkah-laku ceria dan senyumannya yang tak terlupakan.

Setelah Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah atau jika disingkat menjadi MPLS selama seminggu, aku mendapatkan kelas Internasional. Bahasa yang digunakan di kelas ini adalah bahasa Inggris. Keseharian percakapan kami tak luput dari bahasa Inggris.

Kemampuan bahasa Jepang-ku juga tidak buruk. Aku bisa mengerti percakapan-percakapan siswa-siswi asli Jepang di kelas. Namun, perhatianku tertuju pada seorang gadis yang duduk di sebelahku. Paras kecantikannya sangatlah menonjol, sekilas kuperhatikan, aku langsung mengakui bahwa gadis yang duduk di sebalahku adalah gadis yang cantik. Sedari tadi, ia hanya diam saja, seperti mengabaikan sekelilingnya. Tatapannya hanya berpindah dari papan tulis ke buku catatannya. Selalu seperti itu.

Aku hampir tidak pernah berteman setelah kematian ayahku. Rasanya ingin mencoba berkenalan dengannya, akan tetapi tubuhku terasa kaku sehingga membuatku mengeluarkan gestur berkenalan yang sangat aneh. Aku menutup wajahku, malu karena menempatkan diriku dalam posisi yang canggung.

Namun, bukannya menganggapku aneh, gadis itu justru bertanya padaku. "Kamu tidak apa-apa?" Aku tahu niatnya baik, tetapi gadis ini, ia justru malah memperburuk suasana, membuatku semakin malu dan canggung. Ia akhirnya mendapati diriku berdiri mematung, terdiam di depannya. Ini sangat memalukan, rasanya aku ingin angkat kali dari sini. Ah, mengapa pula aku dengan bodohnya malah mengajak gadis ini berkenalan?

"Salam kenal, namaku Ishida Rin. Dan kau?"

Aku terbeliak, tidak menyangka gadis di hadapanku mengulurkan tangannya. Kelima jemarinya yang lentik terbuka, bersiap menerima uluran tanganku. Namun saat ituS aku teringat, bukankah jika kita baru kenal seseorang, kita harus memanggilnya dengan nama keluarganya? Berarti, aku harus memanggilnya Ishida-san?

Aku menghela napas, dengan tatapan penuh senyum, aku menyalami tangannya.

"Namaku Alzaira Kirana, kau bisa memanggilku Ai."

Aku mencoba membuat diriku tidak terlihat canggung, dan aku berhasil melakukannya.

“Baiklah, Ai-san, nyamankan dirimu di sini ya!” Ishida-san tersenyum lebar padaku. Matanya turut melengkung keatas karena dorongan dari pipinya. Senyumannya sungguh manis, menyempurnakan paras cantiknya.

“Tentu saja, Ishida-san!” Aku membalas senyumannya.

"Baiklah, Ai-san, semoga kamu nyaman disini ya!" Kata Ishida-san, tersenyum lebar kepadaku. Matanya melengkung ke atas karena terdorong oleh pipinya. Senyumnya sungguh manis, menyempurnakan paras cantiknya.

"Tentu saja, Ishida-san!" Aku membalas senyumnya. Sebelumnya, aku berpikir bahwa ini hanya basa-basi yang biasa dilakukan siswa pada umumnya. Namun, kenyataan berkata sebaliknya.

Setelah itu, aku dan Ishida-san selalu menghabiskan waktu bersama di kelas. Kami belajar bersama, makan siang bersama, dan terkadang aku berceloteh kepadanya tentang betapa menakjubkannya negara asalku. Ia menjadi teman pertamaku, sekaligus teman dekatku. Beberapa waktu kemudian, ia mengizinkanku untuk memanggilnya dengan nama depannya. Aku tak mengira hal ini akan tiba dengan cepat. Aku merasa sedikit ragu.

“Rin-kun...?" Aku mencoba memanggilnya dengan nama depannya.

"Benar, seperti itu! Ai-kun, teruslah memanggilku seperti itu, ya!" Kedua netra Rin-kun berbinar, menandakan kegembiraan hatinya. Senyumnya juga merekah lebar. Setelah itu, ia memeluk lengan kananku dengan erat.

Rin-kun memiliki aura positif yang memancar darinya, dan aura itu memancar seperti energi cahaya, menyinariku dengan semua yang ia milikki. Saat itulah, aku pertama kali tersenyum dengan lebar, karena seorang teman.

Dirinya adalah seorang jenius. Ia pintar dalam segala hal dan banyak mengajariku dalam segala bidang pelajaran. Bahkan, ia mengajariku cara merawat seekor macan. Rin-kun mengetahuinya, karena pada malam sebelumnya, ia iseng membaca sebuah artikel.

Aku meratapi diriku sendiri, bertanya-tanya apakah aku terlihat seperti seseorang yang akan memelihara seekor macan?

Jawabannya adalah tidak. Aku tidak terlihat seperti seseorang yang akan memelihara macan, memang sifat Rin-kun saja yang seperti itu. Aku mengetahui hal ini di pagi hari berikutnya, saat ia memberitahuku tentang divisi-divisi kepolisian yang jarang orang ketahui.

Lambat laun hal ini menjadi kebiasaan. Kami selalu bertukar informasi apapun—yang entah berguna atau tidak—pada pagi harinya sebelum guru datang. Menurut kami, Ini adalah kebahagiaan tersendiri.

Rin-kun juga pernah mengundangku ke tempat tinggalnya. Sebuah kamar apartemen yang kecil, tapi nyaman. Kami menyelesaikan tugas kelompok kami di sana dengan cepat. Lalu kami mengobrol kecil dan memutuskan untuk jalan keluar, mencari santapan untuk dimakan.

Selera Rin-kun berbeda denganku, kami membeli ramen dengan rasa yang berbeda. Rin­-kun membeli ramen kari tanpa tambahan apapun. Sedangkan aku memesan miso ramen dengan banyak ragam taburan di atasnya. Lalu kami menyantap pesanan kami dalam diam.

  Aku ingat sekali, di saat itu tiba-tiba hujan melanda kota kami. Awalnya kami ingin bergegas pulang, tetapi bisakah kamu menebak apa yang kami lakukan?

Ya, kami bermain hujan. Kami bermain kejar-kejaran, berlarian di bawah hujan, seakan melupakan segala beban dalam kepala. Ini adalah kenangan paling berarti selama setengah tahun aku di sana.

Tanpa kusadari, aku sudah menginjak hari terakhirku di sekolah ini. Dengan arti aku akan meninggalkan Rin-kun untuk waktu yang lama, atau sangat lama, aku tak tahu. Malam itu aku menangis tanpa suara dengan bantuan bantalku.

Esok paginya, Rin-kun yang menyadari mataku sembab pun bertanya apakah aku tak apa. Tapi pertanyaan itu tak usah dijawab, karena aku tahu kalau Rin-kun juga melakukan hal yang sama, bahkan matanya terlihat jauh lebih sembab dariku.

Hari terakhir kami adalah sebuah pesta perpisahan dengan tema haru. Aku memakai gaun putih yang kubeli khusus untuk pesta ini. Rin-kun juga memakai gaun putih, kami berjanji untuk memakai gaun warna sama untuk pesta ini, gaun yang memperingati perpisahan kami.

Itulah kenyataannya. Sesuai kalimat yang aku berikan di awal cerita ini.

Manusia bertemu, bercengkerama, lalu berpisah. Hal yang tak akan luput dari kehidupan.

Tetapi, Rin-kun, mari berpisah dengan indah. Mari habiskan hari terakhir kami dengan hal-hal menyenangkan.

Begitu pesta perpisahan selesai dengan penuh haru di siang hari, aku kembali ke asrama untuk memastikan barang-barangku siap untuk penerbangan pada esok hari. Setelah memastikan semuanya siap, aku menghampiri Rin-kun yang menungguku di depan gerbang asrama, lalu kami menghabiskan waktu kami berjalan-jalan ke tempat yang belum pernah aku datangi sebelumnya.

Sebuah tur singkat yang direncanakan oleh Rin-kun hingga malam. Tetapi Rin-kun menasehatiku untuk tak pulang terlalu malam, karena besok aku akan sibuk. Namun kami tetap menghabiskan waktu hingga tengah malam dan bermalam di apartemen rin-kun.

Aku terpaksa untuk bermalam karena tak berani pulang ke asrama sendirian, dan bermalam di tempat rin-kun adalah ide yang bagus, untuk perpisahan kami.

Aku terbangun pagi-pagi sekali. Mungkin saat itu adalah pukul 3 dini hari. Dan aku harus bergegas kembali ke asrama untuk berkumpul pada jam 6 pagi itu.  

Aku dan Rin-kun berpisah setelah itu. Tetapi itu bukanlah puncak perasaanku. Puncak perasaanku adalah setelah itu, saat Rin-kun mengantarku ke bandara, dan waktu penerbanganku untuk kembali ke negara asalku sudah semakin dekat.

Rin-kun menangis, untuk pertama kalinya di. Tangannya memerah karena kepalannya yang terlalu keras pada lengan bajuku. Di saat ini, aku tak bisa menenangkannya. Maaf, Rin-kun, tapi aku juga menangis. Aku juga tak ingin berpisah denganmu. Tapi kalau kenyataannya seperti ini, aku harus apa?

.“Jangan lupakan aku, ini mungkin permintaan terakhirku padamu yang dapat kuucapkan langsung, tolong.” Dengan suara tersendat, dia akhirnya melafalkan suatu kata yang dapat aku mengerti.

Setelah itu kepalan tangannya melemas. Ia bergerak mundur untuk memberikan jarak diantara kami. Kali ini ia meraih tanganku, lalu mengenggam keduanya dengan erat.

Kemudian, ia berkata dengan lembutnya, dengan senyumannya yang belum pernah aku lihat sebelumnya. “Sampai bertemu lagi ya, Ai-chan, aku menunggumu.”

Senyumku pun ikut terukir padanya. “Ya, sampai jumpa, Rin-chan.”

Semuanya berakhir di sini. Dimana aku dan anak-anak pertukaran pelajar lainnya dipanggil untuk masuk lebih dalam ke dalam bandara, dimana aku tak dapat melihat sosok sahabatku lagi. Dimana kisah ini berakhir. Dengan kalimat ini sebagai penutupnya.

Alzaira Kirana, 25 Desember 2023.