YANG HILANG TANPA KEHILANGAN

Dilihat : 52498

Ting! ting!

                Ponsel di atas meja itu bergetar, disusul layar yang menyala redup bersama pop-up pesan whatsapp. Satu nama itu muncul secara beruntun, ‘Ibuk’. Aku menghela nafas diam-diam, itu ponselku, dan pesan itu datang dari Ibuku.

                Tanpa repot menilik isi pesan itu agaknya aku sudah tahu. Pasti orang itu lagi. Lalu seperti yang kerap terjadi, aku secara sungkan beranjak dan pamit pulang dari tongkrongan, melajukan mesin beroda dua milikku ini dengan sedikit tidak fokus sebab pikiran yang sudah terbelah pada banyak cabang.

“Bu? Ibu yang sabar ya? Allah tahu Ibu orang baik, Allah tahu Ibu kuat, makanya dikasih ujian yang berat.” Ujarku pada Ibu yang masih menangis tergugu.

Hari itu, sepasang netra kotor ini menjadi saksi jatuhnya wanita terhebatku. Yang bahagianya direnggut tanpa permisi oleh dua manusia tak punya hati. Biadab! Tidak jelas bagaimana mulanya, namun yang aku tahu maling selalu punya celah untuk mencuri. Dan tentu saja seorang tamu tidak akan masuk jika tidak dipersilahkan, bukan? Terkecuali mereka yang tingkat ketidaktahu-diriannya di luar batas wajar manusia normal.

Aku tidak lagi kecil, usiaku sudah 22 tahun. Aku bukan lagi seorang bocah dungu yang tidak berhak ikut campur seperti kata Tanteku saat kupergoki dia sedang makan berdua dengan Bapak. Aku ulang. Tanteku makan berdua dengan Bapak. Tanteku. Bapakku. Berdua.

Sinting, memang!

“Cuma berdua?” tembakku tanpa basi-basi, tidak juga berniat memasang wajah sok ramah.

“Eh, Naufal? Sini gabung!”

Ingin rasanya aku lempar mangkuk beserta isinya ke wajah sok tidak berdosa itu. Sedang Bapak? Dia hanya diam tanpa melakukan apa pun.

“Bisa-bisanya ya? Ibu masak loh di rumah!” Ujarku setengah tercekat. Kedua mataku sudah memanas namun aku tidak sudi menangis di depan mereka.

Hancur hatiku, apalagi Ibu, apalagi Uti dan Kakung. Dosa apa yang mereka lakukan sampai harus menyaksikan kedua anaknya terlibat masalah yang sedemikian pelik di waktu yang bersamaan. Dosa apa Ibu sampai harus merasakan ujian seberat ini. Dosa apa kami, Ya Tuhan?

Pertanyaan-pertanyaan itu terkurung di dalam kepala selama lebih dari satu tahun. Selama itulah kami menjalani kehidupan yang tak lagi hangat. Tak ada lagi canda tawa, tak ada lagi makan bersama, tak ada lagi kebahagiaan yang melingkupi dada. Tinggal kecewa yang tersisa.

Namun di antara semua kepahitan ini, Tuhan masih berbelas kasih memberiku satu manusia baik yang selalu mampu menopang kewarasanku yang kian mengikis. Aku menyebutnya rumah. Rumah yang tidak berwujud bangunan namun sudi menaungi diriku.

“Aku nyesel nggak jadi anak nakal.” Cetusku kala itu. Memantik kekagetan juga bingung perempuanku.

“Kok gitu?” tanyanya bingung.

“Temen-temenku yang hobi ngerokok, mabok, main cewek juga, tapi keluarganya baik-baik aja. Mungkin kalau aku yang nakal, nggak kini kali ya keluargaku?”

Selesai aku berujar, lengan kiriku langsung dihadiahi geplakan kuat. Aku mengaduh saat Luna memberiku tatapan tajamnya.

“Dengerin.” Ujarnya galak. Oh, jangan kaget, dia memang begini. Galak dan tukang marah-marah, tapi aku sayang padanya.

“Nggak boleh iri tau sama orang lain. Semua yang terjadi di dunia ini, yang terjadi sama kita, keluarga kita, itu semua takdir Allah.”

Aku tidak menjawab, membiarkan gadis yang sudah membersamaiku selama lebih dari lima tahun ini melanjutkan. “It’s sound bullshit. Tapi apa-apa yang terjadi bukan tanpa sebab. Boleh jadi mereka yang terlihat baik-baik aja ternyata menyimpan banyak luka yang sengaja nggak diperlihatkan. Iya, nggak?”

Kali ini aku mengangguk membenarkan ucapannya.

“Toh, kalau kamu yang nakal, akunya yang nggak mau sama kamu.” Serunya yang diakhiri dengan tawa pongahnya yang lucu. Aku jelas tidak bisa tidak ikut tersenyum. Luna selalu punya celah untuk menghangatkan hati yang mulai mendingin beku ini.

“Maaf ya keluargaku kayak gini.” Ujarku sungguh-sungguh.

“Ck, apasih. Semua rumah pernah dihantam badai, setiap keluarga punya masalah sendiri. Sama aja. Semua sama aja.”

Kurasakan usakan lembut tangannya pada punggung tanganku. Senyum tak pernah pudar dari celah bibir tipisnya, yang mana malah membuatku kian dirambati perasaan bersalah. Aku menunduk menatap jemari manis tangan kirinya yang sudah dilingkari cincin emas putih yang seiras dengan milikku. Seingatku benda ini sudah ada sejak dua bulan lalu.

“Inget ya, apa-apa yang berlebihan itu nggak baik. Marah boleh, benci boleh, tapi sewajarnya aja. Ya?”

Aku mengangguk sambil lalu. Menutupi kenyataan bahwa rasa benciku pada Bapak sudah tak terukur lagi. Sampai rasa-rasanya aku sanggup untuk menghabisinya saat ini juga. Sebab di saat bapak seenaknya seperti itu, Ibu bahkan masih sudi mengurusi segala keperluannya. Dari mencuci baju, membuat makan, sampai berpura-pura seolah tidak terjadi apa-apa.

Sering aku dengan sengaja mengamati Ibu. Sembahyangnya makin sungguh-sungguh. Sujudnya panjang. Tangannya menengadah lama. Dan air mata selalu turut menyertai. Tak pernah kudapati mukena Ibu bersih sehabis shalat, pasti selalu kotor oleh jejak air mata.

“Ibu berdoa apa sama Allah?” Ibu menoleh dan tersenyum mendengar pertanyaanku. Detik itu aku menyadari Ibuku sudah berumur. Sudah bukan lagi masanya untuk memikirkan segala kerumitan ini.

“Yang terbaik buat kita, kak.” Begitu jawab Ibu waktu itu.

Aku tercenung. “Kalau yang terbaik menurut Allah itu nggak sesuai yang diharapkan, Ibu nggak pa-pa?”

Ibu tersenyum, tulus nan sendu. “Manusia punya rencana. Allah juga punya rencana. Tapi, sehebat apa pun kita merencanakan sesuatu, tetap rencana Allah yang terbaik. Meski kadang perlu air mata buat menerimanya.”

Dadaku sakit bukan main mendengarnya.

“Ibu masih kuat, kan?” tanyaku disela isakan tertahan.

Ibu tidak menjawab, namun anggukan kecil itu Ia berikan setelahnya. Kugenggam tangan yang sudah tak lagi halus itu, menyalurkan sisa kekuatan yang kami punya. Di bawah temaram lampu tempat tidur Ibu, batinku meyakini satu hal. Bahwa rencana Tuhan selalu berakhir lebih indah. Kalaupun yang didapatkan belum baik, maka itu bukanlah akhir.

***

Satu tahun lainnya berlalu, masih dengan tanpa kehangatan yang melingkupi. Semua tawa yang diperlihatkan hanyalah kebohongan belaka meski dalam diam aku masih sedikit berharap akan ada keajaiban yang mampu menyadarkan Bapak.

Namun kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Bapak pergi dari rumah, membawa banyak barang miliknya, meninggalkan kami dan memilih mendiami tempat kos—yang Pamanku bilang tak jauh dari rumah. Tidak peduli juga orang itu mau tinggal di mana yang penting tidak membuat Ibu sakit lagi.

Desas-desus tidak mengenakkan mulai samar terdengar, aku sendiri memilih tak ambil pusing, silahkan saja berasumsi apapun selama tidak menyinggung perasaan Ibu. Ah, Ibu, aku jelas tidak akan melupa bagaimana wanita yang kukenal banyak bicara itu berubah menjadi pendiam. Tawa yang biasa menghiasi wajahnya menjadi sukar diperlihatkan. Tubuh yang tidak begitu berisi semakin mengurus dan kecil.

“Ibu masih cinta sama Bapak?” Tanyaku suatu malam.

“Masih.”

“Setelah semua ini?”

“Iya.”

Aku membisu. Hati dan egoku tidak sejalan saat itu.

“Cinta tidak selamanya tentang kepemilikan, kak. Tapi juga tentang keikhlasan.”

“Jadi Ibu sudah ikhlas?”

“Ikhlas untuk?”

“Untuk tidak membersamai Bapak lagi.”

Keterdiaman Ibu membuatku tidak nyaman. Mungkin hatinya sudah terlanjur mengeras seiring sakit yang Bapak torehkan padanya. Semua itu terbukti manakala satu pesan dari Ibu masuk saat aku sedang tidak di rumah. Lagi-lagi orang itu mengusik saat aku sedang jauh dari Ibu.

Bugh!

Aku tidak tahu dorongan tanganku ternyata sekuat itu sampai Bapak terhuyung mundur dan kehilangan keseimbangan. Tidak ingat juga ke mana perginya kunci motor yang kulempar asal tadi.

“Maksudnya apa?!” teriakku setengah kesetanan. Merujuk pada satu foto yang Ibu kirim padaku tadi. Isinya adalah surat talak tiga Bapak atas Ibu.

Biadab!

“Tega ya? Salah apa sih Ibu, Pak?!”

Geming. Manusia jahat dalam cengkeraman tanganku ini geming.

“Aku nggak peduli ya Bapak di luar sana mau ngapain. Selama nggak bikin Ibu sakit aku nggak peduli, mau Bapak mati pun aku nggak peduli.”

“Kakak!” sergah Ibu cepat. Wanita cantik yang hebatnya tidak menangis itu menggeleng, menyuruhku diam.

Namun aku tak mengindahkan perintah Ibu. Manikku terus menusuk tajam pada kedua netra yang menyorot tak terbaca. “Aku harus gimana lagi sih, Pak? Ibu harus kayak gimana lagi biar Bapak sadar?!”

Lagi-lagi geming. Tak ada sepatah katapun meluncur dari bibir Bapak.

“Nggak inget dulu gimana? Nggak inget siapa yang nemenin dari nol? Lupa siapa yang selama ini ada pas Bapak susah? Lupa?? Hah?!” Nafasku memburu perih. Dan Bapak masih saja diam bahkan saat tanganku dengan lancang mencekik kerah bajunya.

“Bajingan. Jangan dikira aku nggak ngerti apa-apa, Pak! Naufal tau selama ini Bapak malah nafkahin si Ira padahal istri sendiri ditelantarin. Naufal tau semua kelakuan bejat kalian berdua. Naufal juga tau masalah rumah yang digadai sama Bapak. Begini masih kurang nyakitin Ibuk??”

“Jangan teriak—”

“Nggak! Kenapa? Biar orang-orang pada tau. Biar semua orang tau kalau Bapak itu bajingan!” Aku berteriak dengan nafas memburu. “Bapak aja nggak takut kan sama Allah? Jadi, silahkan, kalau perlu pergi yang jauh nggak perlu balik lagi. Aku bisa jagain Ibuk sendiri.”

Hening menyusup bersama sesak yang bergumul sakit dalam dada.

“Bapak ilang sekalipun nggak akan ngaruh lagi buat kita.” Pungkasku penuh keyakinan.

Pada detik itu benakku sempurna yakin tanpa meragu. Tanpa terbayang jika dalam kurun waktu kurang dari tiga puluh hari, Bapak benar-benar pergi. Bukan kabur melarikan diri bak pecundang seperti yang kerap terjadi. Ia sungguh pergi. Menghilang jauh meninggalkan raga yang tertanam dalam bumi.

April malam itu, nafas Bapak berhembus untuk kali terakhirnya.

***

 Gelombang panas mengungkung tubuh yang sudah basah kuyup keringat. Tidak ada tanda-tanda mendung terlihat, semesta seolah sedang merayakan suatu hal yang besar. Suatu hal yang seharusnya kusebut kehilangan namun tertahan fakta yang membuatku enggan menganggapnya sebagai kesedihan.

Aku terdiam menundukkan pandangan, menatap jatuh pada gundukan tanah basah yang baru selesai di doakan. Pada ujungnya tertanam sebuah semen berlapis marmer merah, kulihat Ibu masih meraung duka di sebelahnya. Ya Tuhan, Ibu. Sakit hatiku melihat Ibu seperti itu.

“Pulang sekarang?” tanyaku pada Luna, yang mana dijawab gelengan tanpa ragu.

“Duluan. Aku nungguin Ibu.” Jawabnya kemudian. Aku mengangguk saja, lalu ikut berdiri membayangi tubuh kecilnya.

Ada yang hilang. Tentu saja.

Tapi aku tidak merasa kehilangan.

Dadaku sesak bukan main. Sakit. Bukan sebab kepergiannya melainkan melihat Ibu seperti itu. Seolah baru saja kehilangan setengah jiwanya padahal kenyataan yang terjadi separuh jiwa Ibu sudah melompong bahkan sejak dulu. Sakit mengingat semua duka dan perih hati yang Ibu terima selama ini.

Mataku memanas, tapi tak ada air mata yang menyertai.

Bapak pergi, tapi tak ada tangis kehilangan yang membasahi pipi.
                                                                                                                                                                                                                                                               Byeriristy (pena)