YANG HILANG TANPA KEHILANGAN
Dilihat : 52659
Ting! ting!
Ponsel
di atas meja itu bergetar, disusul layar yang menyala redup bersama pop-up
pesan whatsapp. Satu nama itu muncul secara beruntun, ‘Ibuk’. Aku
menghela nafas diam-diam, itu ponselku, dan pesan itu datang dari Ibuku.
Tanpa
repot menilik isi pesan itu agaknya aku sudah tahu. Pasti orang itu lagi. Lalu
seperti yang kerap terjadi, aku secara sungkan beranjak dan pamit pulang dari
tongkrongan, melajukan mesin beroda dua milikku ini dengan sedikit tidak fokus
sebab pikiran yang sudah terbelah pada banyak cabang.
“Bu? Ibu yang
sabar ya? Allah tahu Ibu orang baik, Allah tahu Ibu kuat, makanya dikasih ujian
yang berat.” Ujarku pada Ibu yang masih menangis tergugu.
Hari itu,
sepasang netra kotor ini menjadi saksi jatuhnya wanita terhebatku. Yang
bahagianya direnggut tanpa permisi oleh dua manusia tak punya hati. Biadab!
Tidak jelas bagaimana mulanya, namun yang aku tahu maling selalu punya celah
untuk mencuri. Dan tentu saja seorang tamu tidak akan masuk jika tidak
dipersilahkan, bukan? Terkecuali mereka yang tingkat ketidaktahu-diriannya di
luar batas wajar manusia normal.
Aku tidak lagi
kecil, usiaku sudah 22 tahun. Aku bukan lagi seorang bocah dungu yang tidak
berhak ikut campur seperti kata Tanteku saat kupergoki dia sedang makan berdua
dengan Bapak. Aku ulang. Tanteku makan berdua dengan Bapak. Tanteku. Bapakku.
Berdua.
Sinting, memang!
“Cuma berdua?”
tembakku tanpa basi-basi, tidak juga berniat memasang wajah sok ramah.
“Eh, Naufal?
Sini gabung!”
Ingin rasanya
aku lempar mangkuk beserta isinya ke wajah sok tidak berdosa itu. Sedang Bapak?
Dia hanya diam tanpa melakukan apa pun.
“Bisa-bisanya
ya? Ibu masak loh di rumah!” Ujarku setengah tercekat. Kedua mataku sudah
memanas namun aku tidak sudi menangis di depan mereka.
Hancur hatiku,
apalagi Ibu, apalagi Uti dan Kakung. Dosa apa yang mereka lakukan sampai harus
menyaksikan kedua anaknya terlibat masalah yang sedemikian pelik di waktu yang
bersamaan. Dosa apa Ibu sampai harus merasakan ujian seberat ini. Dosa apa
kami, Ya Tuhan?
Pertanyaan-pertanyaan
itu terkurung di dalam kepala selama lebih dari satu tahun. Selama itulah kami
menjalani kehidupan yang tak lagi hangat. Tak ada lagi canda tawa, tak ada lagi
makan bersama, tak ada lagi kebahagiaan yang melingkupi dada. Tinggal kecewa
yang tersisa.
Namun di antara
semua kepahitan ini, Tuhan masih berbelas kasih memberiku satu manusia baik yang
selalu mampu menopang kewarasanku yang kian mengikis. Aku menyebutnya rumah.
Rumah yang tidak berwujud bangunan namun sudi menaungi diriku.
“Aku nyesel
nggak jadi anak nakal.” Cetusku kala itu. Memantik kekagetan juga bingung
perempuanku.
“Kok gitu?” tanyanya
bingung.
“Temen-temenku
yang hobi ngerokok, mabok, main cewek juga, tapi keluarganya baik-baik aja. Mungkin
kalau aku yang nakal, nggak kini kali ya keluargaku?”
Selesai aku
berujar, lengan kiriku langsung dihadiahi geplakan kuat. Aku mengaduh saat Luna
memberiku tatapan tajamnya.
“Dengerin.” Ujarnya
galak. Oh, jangan kaget, dia memang begini. Galak dan tukang marah-marah, tapi
aku sayang padanya.
“Nggak boleh iri
tau sama orang lain. Semua yang terjadi di dunia ini, yang terjadi sama kita,
keluarga kita, itu semua takdir Allah.”
Aku tidak
menjawab, membiarkan gadis yang sudah membersamaiku selama lebih dari lima
tahun ini melanjutkan. “It’s sound bullshit. Tapi apa-apa yang terjadi
bukan tanpa sebab. Boleh jadi mereka yang terlihat baik-baik aja ternyata
menyimpan banyak luka yang sengaja nggak diperlihatkan. Iya, nggak?”
Kali ini aku
mengangguk membenarkan ucapannya.
“Toh, kalau kamu
yang nakal, akunya yang nggak mau sama kamu.” Serunya yang diakhiri dengan tawa
pongahnya yang lucu. Aku jelas tidak bisa tidak ikut tersenyum. Luna selalu
punya celah untuk menghangatkan hati yang mulai mendingin beku ini.
“Maaf ya
keluargaku kayak gini.” Ujarku sungguh-sungguh.
“Ck, apasih.
Semua rumah pernah dihantam badai, setiap keluarga punya masalah sendiri. Sama
aja. Semua sama aja.”
Kurasakan usakan
lembut tangannya pada punggung tanganku. Senyum tak pernah pudar dari celah
bibir tipisnya, yang mana malah membuatku kian dirambati perasaan bersalah. Aku
menunduk menatap jemari manis tangan kirinya yang sudah dilingkari cincin emas
putih yang seiras dengan milikku. Seingatku benda ini sudah ada sejak dua bulan
lalu.
“Inget ya,
apa-apa yang berlebihan itu nggak baik. Marah boleh, benci boleh, tapi
sewajarnya aja. Ya?”
Aku mengangguk sambil
lalu. Menutupi kenyataan bahwa rasa benciku pada Bapak sudah tak terukur lagi.
Sampai rasa-rasanya aku sanggup untuk menghabisinya saat ini juga. Sebab di
saat bapak seenaknya seperti itu, Ibu bahkan masih sudi mengurusi segala
keperluannya. Dari mencuci baju, membuat makan, sampai berpura-pura seolah
tidak terjadi apa-apa.
Sering aku
dengan sengaja mengamati Ibu. Sembahyangnya makin sungguh-sungguh. Sujudnya
panjang. Tangannya menengadah lama. Dan air mata selalu turut menyertai. Tak
pernah kudapati mukena Ibu bersih sehabis shalat, pasti selalu kotor oleh jejak
air mata.
“Ibu berdoa apa
sama Allah?” Ibu menoleh dan tersenyum mendengar pertanyaanku. Detik itu aku
menyadari Ibuku sudah berumur. Sudah bukan lagi masanya untuk memikirkan segala
kerumitan ini.
“Yang terbaik
buat kita, kak.” Begitu jawab Ibu waktu itu.
Aku tercenung.
“Kalau yang terbaik menurut Allah itu nggak sesuai yang diharapkan, Ibu nggak
pa-pa?”
Ibu tersenyum,
tulus nan sendu. “Manusia punya rencana. Allah juga punya rencana. Tapi,
sehebat apa pun kita merencanakan sesuatu, tetap rencana Allah yang terbaik.
Meski kadang perlu air mata buat menerimanya.”
Dadaku sakit
bukan main mendengarnya.
“Ibu masih kuat,
kan?” tanyaku disela isakan tertahan.
Ibu tidak
menjawab, namun anggukan kecil itu Ia berikan setelahnya. Kugenggam tangan yang
sudah tak lagi halus itu, menyalurkan sisa kekuatan yang kami punya. Di bawah
temaram lampu tempat tidur Ibu, batinku meyakini satu hal. Bahwa rencana Tuhan
selalu berakhir lebih indah. Kalaupun yang didapatkan belum baik, maka itu
bukanlah akhir.
***
Satu tahun
lainnya berlalu, masih dengan tanpa kehangatan yang melingkupi. Semua tawa yang
diperlihatkan hanyalah kebohongan belaka meski dalam diam aku masih sedikit berharap
akan ada keajaiban yang mampu menyadarkan Bapak.
Namun kenyataan
yang terjadi justru sebaliknya. Bapak pergi dari rumah, membawa banyak barang miliknya,
meninggalkan kami dan memilih mendiami tempat kos—yang Pamanku bilang tak jauh
dari rumah. Tidak peduli juga orang itu mau tinggal di mana yang penting tidak
membuat Ibu sakit lagi.
Desas-desus
tidak mengenakkan mulai samar terdengar, aku sendiri memilih tak ambil pusing,
silahkan saja berasumsi apapun selama tidak menyinggung perasaan Ibu. Ah, Ibu,
aku jelas tidak akan melupa bagaimana wanita yang kukenal banyak bicara itu berubah
menjadi pendiam. Tawa yang biasa menghiasi wajahnya menjadi sukar
diperlihatkan. Tubuh yang tidak begitu berisi semakin mengurus dan kecil.
“Ibu masih
cinta sama Bapak?” Tanyaku suatu malam.
“Masih.”
“Setelah
semua ini?”
“Iya.”
Aku membisu.
Hati dan egoku tidak sejalan saat itu.
“Cinta tidak
selamanya tentang kepemilikan, kak. Tapi juga tentang keikhlasan.”
“Jadi Ibu
sudah ikhlas?”
“Ikhlas
untuk?”
“Untuk tidak membersamai
Bapak lagi.”
Keterdiaman Ibu
membuatku tidak nyaman. Mungkin hatinya sudah terlanjur mengeras seiring sakit
yang Bapak torehkan padanya. Semua itu terbukti manakala satu pesan dari Ibu
masuk saat aku sedang tidak di rumah. Lagi-lagi orang itu mengusik saat aku
sedang jauh dari Ibu.
Bugh!
Aku tidak tahu
dorongan tanganku ternyata sekuat itu sampai Bapak terhuyung mundur dan
kehilangan keseimbangan. Tidak ingat juga ke mana perginya kunci motor yang
kulempar asal tadi.
“Maksudnya
apa?!” teriakku setengah kesetanan. Merujuk pada satu foto yang Ibu kirim
padaku tadi. Isinya adalah surat talak tiga Bapak atas Ibu.
Biadab!
“Tega ya? Salah
apa sih Ibu, Pak?!”
Geming. Manusia
jahat dalam cengkeraman tanganku ini geming.
“Aku nggak
peduli ya Bapak di luar sana mau ngapain. Selama nggak bikin Ibu sakit aku
nggak peduli, mau Bapak mati pun aku nggak peduli.”
“Kakak!” sergah
Ibu cepat. Wanita cantik yang hebatnya tidak menangis itu menggeleng,
menyuruhku diam.
Namun aku tak
mengindahkan perintah Ibu. Manikku terus menusuk tajam pada kedua netra yang menyorot
tak terbaca. “Aku harus gimana lagi sih, Pak? Ibu harus kayak gimana lagi biar
Bapak sadar?!”
Lagi-lagi geming.
Tak ada sepatah katapun meluncur dari bibir Bapak.
“Nggak inget dulu
gimana? Nggak inget siapa yang nemenin dari nol? Lupa siapa yang selama ini ada
pas Bapak susah? Lupa?? Hah?!” Nafasku memburu perih. Dan Bapak masih saja diam
bahkan saat tanganku dengan lancang mencekik kerah bajunya.
“Bajingan.
Jangan dikira aku nggak ngerti apa-apa, Pak! Naufal tau selama ini Bapak malah
nafkahin si Ira padahal istri sendiri ditelantarin. Naufal tau semua kelakuan
bejat kalian berdua. Naufal juga tau masalah rumah yang digadai sama Bapak.
Begini masih kurang nyakitin Ibuk??”
“Jangan teriak—”
“Nggak! Kenapa? Biar
orang-orang pada tau. Biar semua orang tau kalau Bapak itu bajingan!” Aku berteriak
dengan nafas memburu. “Bapak aja nggak takut kan sama Allah? Jadi, silahkan,
kalau perlu pergi yang jauh nggak perlu balik lagi. Aku bisa jagain Ibuk
sendiri.”
Hening menyusup
bersama sesak yang bergumul sakit dalam dada.
“Bapak ilang sekalipun nggak akan
ngaruh lagi buat kita.” Pungkasku penuh keyakinan.
Pada detik itu benakku sempurna
yakin tanpa meragu. Tanpa terbayang jika dalam kurun waktu kurang dari tiga
puluh hari, Bapak benar-benar pergi. Bukan kabur melarikan diri bak pecundang
seperti yang kerap terjadi. Ia sungguh pergi. Menghilang jauh meninggalkan raga
yang tertanam dalam bumi.
April malam itu, nafas Bapak
berhembus untuk kali terakhirnya.
***
Gelombang panas
mengungkung tubuh yang sudah basah kuyup keringat. Tidak ada tanda-tanda
mendung terlihat, semesta seolah sedang merayakan suatu hal yang besar. Suatu
hal yang seharusnya kusebut kehilangan namun tertahan fakta yang membuatku
enggan menganggapnya sebagai kesedihan.
Aku terdiam
menundukkan pandangan, menatap jatuh pada gundukan tanah basah yang baru
selesai di doakan. Pada ujungnya tertanam sebuah semen berlapis marmer merah,
kulihat Ibu masih meraung duka di sebelahnya. Ya Tuhan, Ibu. Sakit hatiku
melihat Ibu seperti itu.
“Pulang
sekarang?” tanyaku pada Luna, yang mana dijawab gelengan tanpa ragu.
“Duluan. Aku
nungguin Ibu.” Jawabnya kemudian. Aku mengangguk saja, lalu ikut berdiri
membayangi tubuh kecilnya.
Ada yang hilang.
Tentu saja.
Tapi aku tidak
merasa kehilangan.
Dadaku sesak
bukan main. Sakit. Bukan sebab kepergiannya melainkan melihat Ibu seperti itu.
Seolah baru saja kehilangan setengah jiwanya padahal kenyataan yang terjadi
separuh jiwa Ibu sudah melompong bahkan sejak dulu. Sakit mengingat semua duka
dan perih hati yang Ibu terima selama ini.
Mataku memanas,
tapi tak ada air mata yang menyertai.
Bapak pergi,
tapi tak ada tangis kehilangan yang membasahi pipi.
Byeriristy (pena)