Tak Sempat Lari
Dilihat : 3405
Sinar mentari menyilaukan pandangan membuat mataku menyipit
karena merasa geli. Berada di dalam sebuah barisan tentara untungnya tidak
membuatku jenuh. Tur di pangkalan militer ini menyulutkan semangat yang berbeda
dalam tubuhku. Sahabatku, Kayven dan Ashwin, juga mengikuti tur ini. Sembari
kami berjalan sedikit-sedikit, aku mengamati setiap senti apa saja yang ada di pangkalan
militer ini. Satu yang menarik perhatianku adalah sebuah gedung observasi yang
berada di tengah gersangnya pangkalan militer rahasia ini. Mataku menyapu ke
seluruh area pangkalan militer. Sepi.
“Sekarang saja,” Kayven berbisik, tatapannya
serius tertuju padaku dan Ashwin bergantian.
“Sekarang?!” Aku dan Ashwin serentak
membalasnya berbisik dengan raut syok. Sekarang
apanya?
“Ayo!” Oh, tidak.
Tanpa melihat situasi, kami berlari
secepat dan sehening mungkin dan berhasil kabur dari barisan. Tidak ketahuan? Benar-benar aneh.
Setelah beberapa menit berlari, kami menemukan sebuah gua kecil. Menurutku, gua
ini masih dalam satu kawasan dengan pangkalan militer itu. Kami beristirahat
beberapa saat di depan gua sambil memandangi gua itu lalu memutuskan untuk
masuk ke dalam gua. Dengan langkah hati-hati, kami masuk ke dalam gua. Kosong,
sepi, gelap, dan rentan bergema terhadap bunyi.
“Mau cari apa?” Suaraku yang lirih
saja masih dapat bergema di dalam sini. Mengerikan.
Semakin kami berjalan masuk ke dalam
gua, semakin pekat gelap yang kulihat. Kurogoh saku celanaku dan mengambil
sebuah senter kecil. Penglihatanku kembali mendapatkan kenyamanannya saat
cahaya senter mulai menyala. Ditemani cahaya senter, kami bisa berjalan sedikit
lebih jauh ke dalam gua. Belum ada setengah perjalanan, aku berhenti karena
mendapatkan sesuatu. Benda itu wujudnya seperti paket biasa—tidak terlihat
misterius, tetapi aku penasaran. Tanpa membuat pertimbangan, aku mengambil
paket itu dan membuka bungkusnya dengan tangan kosong.
“Serbuk?” Gumamku. Paket ini berisi sekepal
serbuk berwarna putih. Jika ada yang bertanya, aku akan menjawab dengan yakin
bahwa ini adalah sabu-sabu. Aku punya pengetahuan yang baik tentang narkotika.
BRAK! Dengan cepat aku menengok ke sumber
bunyi tersebut. Kayven menyenggol sesuatu, Kayven menemukan sesuatu. Aku menghampirinya.
Dia menyenggol sebuah kotak papan kayu. Aku menatap Kayven lalu ke Ashwin.
Keduanya sama-sama menatap tajam ke papan kayu itu. Tiba-tiba, Ashwin
menendangnya dan mencopotnya dengan penuh amarah dan tenaga.
“Apa?” Kayven bergumam, alisnya mengerut.
Tidak hanya sekepal, papan kayu besar ini betul-betul dipenuhi oleh sabu-sabu
yang telah terbungkus plastik-plastik kecil, tersusun dengan rapat dan padat
hingga tidak ada lubang untuk dilalui angin sekalipun. Kami bertiga terdiam
kaku begitu saja. Rahangku menegang sembari masih memandang jeli lusinan sabu-sabu
itu.
“Kau...?” Ashwin membuyarkan
lamunanku. Cahaya senter dan bola matanya yang mendelik tertuju ke tanganku, ke
sekepal sabu-sabu yang tak sadar kugenggam erat sedari tadi. Aku menggerakkan
senter ke bungkus paket yang kurobek tadi. Aku menatap Ashwin lalu Kayven lalu sabu-sabu
di papan kayu lalu sabu-sabu di tanganku. Kulemparkan sabu-sabu yang ada di
tanganku ke tanah, jatuh berserakan. Pangkalan militer ini tidak beres.
TEPLAK. TEPLAK. Kudengar bunyi langkah sepatu
dari bagian dalam gua. Jantungku berdebar cepat. Seketika kami mematikan senter
dan berlari keluar gua. Cara berlari yang persis kami lakukan seperti
sebelumnya—hening dan cepat, tetapi lebih cepat dari yang pernah kami lakukan.
Di samping gua terdapat banyak semak belukar yang lebat dan batu-batu yang
besar. Tanpa pikir panjang, kami berlari ke sana dan bersembunyi cepat-cepat.
Selang beberapa saat, seseorang
datang dari arah di mana kami berjalan masuk ke dalam gua. Dilihat dari cara
berjalannya, dia sepertinya ingin masuk ke dalam gua. Seorang pria berusia tiga
puluhan, mengenakan jubah kulit lengan panjang berkerah berwarna cokelat
kehitaman yang lusuh dan sedikit kotor, rambut hitamnya dipotong cepak yang
rapi dan bersih dari berewok seperti sehabis dari tukang potong rambut.
Penampilannya dari luar sangat bagus dan modis seperti model, sudah semestinya
dia memiliki otot yang kekar. Kuakui penampilannya mampu mengalihkan
perhatianku. Pria garang itu berhenti tepat di depan gua. Ia memperhatikan
bagian dalam gua dengan saksama, seperti menunggu seseorang untuk muncul dari
dalam kegelapan. Benar saja, seorang yang lain keluar dari dalam gua. Ia
memakai seragam tentara lengkap, yang seharusnya digunakan di pangkalan
militer. Perhatianku dialihkan ke sepatunya. Sepatu itu yang bersuara. Tepat sekali.
Kuperhatikan mereka berdua tengah
berbincang. Entah apa yang mereka bicarakan. Namun, semakin lama, masing-masing
dari mereka berbicara dengan alis mengerut, jari-jari yang saling menunjuk, dan
bibir yang merajuk. Nada bicara mereka bertambah nyaring seiring perdebatan.
Kelopak mataku menyipit dan memasang telinga untuk menyimaknya.
DOR! DOR! DOR! DOR! Empat butir peluru
berhasil melesat dari sebuah senjata api dengan mendadak dan melenyapkan tentara
itu. Pria jubah hitam telah membunuhnya. Mataku melotot. Tenggorokanku menelan
ludah. Jantungku berdebar bukan main. Seluruh tubuhku kembang kempis tidak
karuan. Sebisa mungkin aku menahan suara sesak dari dadaku. Kepalaku menengok
ke Ashwin dan Kayven, mereka sama takutnya denganku. Aku menoleh lagi ke pria
itu. Tangan kanannya meraih HT dari celananya.
“Bunuh semua orang yang ada di
sini!” Pria itu berteriak ke HT di cengkeramannya. Dia benar-benar mengamuk.
“Kita berpencar sekarang mencari
teman-teman kita. Semuanya harus keluar dari sini,” bisikku serius. Kayven dan Ashwin
mengangguk serentak. Kami berlari diam-diam dan berpencar dengan tergesa-gesa.
Aku memilih tujuan ke daerah gedung observasi pangkalan militer karena aku
mengira saat ini para pasukan sudah berjalan sampai di sana saat melakukan tur.
Begitu aku sampai di halaman gedung, darah dan mayat berserakan di tanah.
“Sial!” Jeritan penyesalan ini
keluar dari mulutku. Aku terlambat. Orang-orang suruhan pria itu dengan cepat menyerang
mereka. Betapa keji. Menyadari keberadaan musuh yang mungkin sedang
bersembunyi, aku bergegas melanjutkan pencarianku ke dalam gedung observasi.
“Besok pagi-pagi sekali aku berangkat ke sana. Kau pasti masih tidur
saat aku berangkat nanti,” suatu nada indah terlintas di pikiran kacauku. Seingatku,
semalam ada seorang perempuan yang mengatakan itu kepadaku. Perempuan yang
membuatku selalu terjaga setiap kali aku menatap pupil matanya. Perempuan itu
adalah seorang peneliti yang juga menjadi bagian dari tur pangkalan militer
kami. Ia juga berteman dekat dengan kekasih Kayven yang seorang perawat. Dia ada di sini!
Aku masuk ke dalam gedung lewat
pintu belakang dengan tujuan tidak ada yang melihatku. Dengan amat hati-hati,
aku melirik ke kanan dan ke kiri, ke depan dan ke belakang. KRAK. Kakiku menginjak sesuatu yang
keras. Pistol. Aku bersyukur pistol itu tidak remuk akibat injakanku. Kurampas
pistol itu di dekat seorang mayat. Kuperiksa amunisi yang ada di dalamnya.
Tinggal satu peluru. Aku tetap mengambilnya.
Kuteruskan perjalananku mencari
perempuan itu. Kakiku terus-menerus berjinjit menghindari mayat seraya
menciptakan keheningan. Aku menaiki tangga menuju lantai dua, tetap dengan
lirikan waspada. Ada sebuah ruangan yang tertutup rapat oleh pintu besi. Aku
berasumsi jika perempuan itu ada di
dalam sini. Aku menodongkan pistol, mengantisipasi jika musuh berada di balik
pintu. Kakiku mendobrak pintu itu dengan sisa tenagaku. Aku menganga atas apa
yang kutemukan. Kau, seorang profesor, dan tiga orang temanmu itu berpelukan
satu sama lain sembari menangis di dalam sebuah laboratorium. Kau beranjak dari
lantai tempatmu duduk, matamu sembab kulihat. Kita saling mendekat. Aku
memelukmu erat dan menumpahkan air mataku yang telah menggenang. Aku tidak tahu
mengapa aku menangis. Kurasakan tangan kecilmu mengelus punggungku. Aku merasa
aman dan lega saat itu juga. Aku tidak
ingin mati. Aku ingin hidup. Hatiku menggebu di saat pelukanmu terasa
semakin hangat. Dengan terpaksa, aku melepaskan pelukanmu dan menyapu air mataku.
“Kita harus segera keluar dari sini.
Seseorang telah menyuruh orang lain untuk membunuh semua orang yang ada di
sini.” Mereka mengangguk paham lalu bergegas pergi mengikutiku.
Ketika kami mencapai pintu ruangan,
seorang tentara asing mendadak masuk dan menutupi jalan keluar. Kami berjalan
mundur karena panik. Kulihat sebuah tang di atas meja di sebelah kiriku. Aku
meraihnya lalu kulemparkan ke wajah tentara itu, menancap tepat di bola
matanya. Tentara itu kesakitan dan tergeletak ke lantai. Ini kesempatan untuk
keluar dari ruangan. Dengan pergerakan yang persis seperti sebelumnya, kami
berhasil lolos dari tentara itu dan menemukan udara segar di luar gedung. Tidak
berhenti di sini, kami terus berlari hingga ke depan gerbang masuk pangkalan,
melawan rasa penat dan sakit akibat ulah dari satu orang itu. Orang-orang yang lain
yang juga berhasil selamat dilarikan ke depan gerbang masuk. Syukurlah, ada
banyak orang di sini. Mereka yang berkumpul di sini adalah para peneliti, para
pasukan tur, Ashwin, para perawat—oh, itu dia, Mireille, kekasih Kayven—tunggu,
Kayven? Aku tidak melihatnya. Kucari-cari lagi di antara gerombolan, tidak ada Kayven.
“Mireille, di mana Kayven?” Aku
menghampirinya. Raut wajahnya begitu sedih dan air matanya mengucur deras.
“Dia masih di dalam. Katanya, dia
ingin mengulur waktu supaya tidak ada siapa-siapa lagi di dalam,” lengannya
yang lemah terlihat berusaha menunjuk ke area pangkalan militer, nada bicaranya
terbata-bata, dia menangis sesenggukan.
Mendengar kalimat itu, aku berlari
cepat menuju pangkalan militer untuk mencari Kayven, menghiraukan mereka yang
memanggil namaku. Sesampainya di area pangkalan militer, aku mengingat-ingat
lagi ke mana arah tangan Mireille menunjuk. Ketika aku masih sibuk
menoleh-noleh, Kayven keluar dari gedung observasi melalui pintu masuk bagian
depan. Dia menghampiriku, cara berjalannya tidak seimbang.
“Di sini sudah kosong. Kau—semuanya
aman?” Tanya Kayven, napasnya terengah.
“Aman. Semuanya sudah di depan,”
jawabku. Ekspresinya segar seketika. “Kita harus keluar,” tambahku. Kayven
mengangguk.
Sebelum melangkah pergi, aku terdiam
menangkap sesuatu. Aku merasa diperhatikan, tetapi bukan dari Kayven. Beberapa
pasang mata mengintip dari samping gedung, mengincar aku dan Kayven bak kawanan
elang yang menemukan mangsanya.
“Lari!”
Aku dan Kayven berlari sekuat tenaga
menuju gerbang. Jantungku tidak kuat lagi mendukungku berlari, tetapi apa
jadinya jika kami berhenti sekarang. Sebuah truk bak terbuka datang menjemput
kami di tengah pangkalan. Bak tersebut telah diisi oleh orang-orang yang
selamat—dan perempuan itu.
“Kau pergi saja. Aku harus memasang
bom di sana agar bisa—”
“Tidak. Jangan,” potong Kayven, rautnya
memelas. Aku menatap Kayven, Ashwin—dia—dan semua orang yang ada di dalam bak
truk. Tatapan yang kuberikan terasa seakan ini tatapan terakhirku.
Buru-buru aku kembali ke dalam wilayah
pangkalan. Aku memasang sebuah bom jarak jauh di depan gedung observasi.
Keringatku bercucuran, tanganku dingin gemetar, jantungku berdegup kencang,
pikiranku kacau. Dengan segala emosi yang saling bertabrakan, aku berhasil
mengotak-atik bom ini. Kuambil remot pengendalinya dari saku celanaku sehingga
bisa kuledakkan saat aku sampai di depan gerbang. Waktunya pulang.
Tiba-tiba, seorang tentara asing memergokiku
dari arah gedung. Dia berlari ke arahku. Secara spontan, tangan kananku
mengangkat pistol dan satu butir peluru lolos mengenai dadanya. Aku
membunuhnya. Tidak butuh waktu lama, tiga orang tentara yang lain bergantian
keluar dari dalam gedung. Pistol di tanganku kutodongkan ke dada mereka. Oh, tidak. Aku lupa sisa amunisinya
sudah habis. Pikiranku yang semakin kacau membuatku tidak bisa bergerak.
DOR! Sebuah peluru panas menembus pahaku.
Sakit. Mereka berhasil melumpuhkanku. Aku terjatuh keras ke tanah berpasir. Ternyata aku hanya sampai di sini.
Seraya merintih kesakitan, aku teringat bahwa aku mempunyai bom yang masih
harus kuledakkan. Remotnya masih kugenggam di tangan kiriku. Napasku terengah.
Kutengok, ternyata bom itu berada tepat di samping perutku.
Maafkan aku. Aku menekan tombol peledak sambil
memejamkan mata, bersiap merasakan sakit.
BLAR!
Kicauan burung kecil di luar rumahku
terdengar gaduh dan memekakkan telinga walaupun aku tahu mereka berada jauh di
atas pohon. Kelopak mataku membuka perlahan, menyajikan pemandangan
langit-langit kamar yang usang. Udara dingin menjalar ke seluruh kulitku,
ternyata selimutku berada jauh dari badanku. Energiku terlalu lemah untuk
bangkit mengambil selimut tebalku. Sambil masih telentang di atas kasur empuk
ini, kakiku bersusah payah meraih selimutku. Segera aku membungkus sekujur
tubuhku dengan selimut. Nikmat sekali. Posisi yang nyaman ini membuatku
memiliki niat untuk kembali tidur, tetapi ada perasaan yang mengganjal. Otakku
seperti sedang memproses atau mengingat sesuatu, kurasa.
Mimpi! Aku mengingatnya. Mimpi semalam sangat
seru dan mendebarkan. Bagaimana bisa aku melupakan mimpi seseru itu? Aku harus
menceritakannya. Aku menggosok pinggiran mataku dengan jari telunjuk,
membersihkannya dari kotoran mata setiap bangun tidur. Kuambil ponsel di atas
nakas di samping tempat tidurku. Aku tahu kepada siapa aku harus bercerita.
“Kau pasti masih tidur saat aku berangkat nanti. Cari aku saat kau
sudah bangun.”
Selvira Galuh