Tak Sempat Lari

Dilihat : 3316

Sinar mentari menyilaukan pandangan membuat mataku menyipit karena merasa geli. Berada di dalam sebuah barisan tentara untungnya tidak membuatku jenuh. Tur di pangkalan militer ini menyulutkan semangat yang berbeda dalam tubuhku. Sahabatku, Kayven dan Ashwin, juga mengikuti tur ini. Sembari kami berjalan sedikit-sedikit, aku mengamati setiap senti apa saja yang ada di pangkalan militer ini. Satu yang menarik perhatianku adalah sebuah gedung observasi yang berada di tengah gersangnya pangkalan militer rahasia ini. Mataku menyapu ke seluruh area pangkalan militer. Sepi.

“Sekarang saja,” Kayven berbisik, tatapannya serius tertuju padaku dan Ashwin bergantian.

“Sekarang?!” Aku dan Ashwin serentak membalasnya berbisik dengan raut syok. Sekarang apanya?

“Ayo!” Oh, tidak.

Tanpa melihat situasi, kami berlari secepat dan sehening mungkin dan berhasil kabur dari barisan. Tidak ketahuan? Benar-benar aneh. Setelah beberapa menit berlari, kami menemukan sebuah gua kecil. Menurutku, gua ini masih dalam satu kawasan dengan pangkalan militer itu. Kami beristirahat beberapa saat di depan gua sambil memandangi gua itu lalu memutuskan untuk masuk ke dalam gua. Dengan langkah hati-hati, kami masuk ke dalam gua. Kosong, sepi, gelap, dan rentan bergema terhadap bunyi.

“Mau cari apa?” Suaraku yang lirih saja masih dapat bergema di dalam sini. Mengerikan.

Semakin kami berjalan masuk ke dalam gua, semakin pekat gelap yang kulihat. Kurogoh saku celanaku dan mengambil sebuah senter kecil. Penglihatanku kembali mendapatkan kenyamanannya saat cahaya senter mulai menyala. Ditemani cahaya senter, kami bisa berjalan sedikit lebih jauh ke dalam gua. Belum ada setengah perjalanan, aku berhenti karena mendapatkan sesuatu. Benda itu wujudnya seperti paket biasa—tidak terlihat misterius, tetapi aku penasaran. Tanpa membuat pertimbangan, aku mengambil paket itu dan membuka bungkusnya dengan tangan kosong.

“Serbuk?” Gumamku. Paket ini berisi sekepal serbuk berwarna putih. Jika ada yang bertanya, aku akan menjawab dengan yakin bahwa ini adalah sabu-sabu. Aku punya pengetahuan yang baik tentang narkotika.

BRAK! Dengan cepat aku menengok ke sumber bunyi tersebut. Kayven menyenggol sesuatu, Kayven menemukan sesuatu. Aku menghampirinya. Dia menyenggol sebuah kotak papan kayu. Aku menatap Kayven lalu ke Ashwin. Keduanya sama-sama menatap tajam ke papan kayu itu. Tiba-tiba, Ashwin menendangnya dan mencopotnya dengan penuh amarah dan tenaga.

“Apa?” Kayven bergumam, alisnya mengerut. Tidak hanya sekepal, papan kayu besar ini betul-betul dipenuhi oleh sabu-sabu yang telah terbungkus plastik-plastik kecil, tersusun dengan rapat dan padat hingga tidak ada lubang untuk dilalui angin sekalipun. Kami bertiga terdiam kaku begitu saja. Rahangku menegang sembari masih memandang jeli lusinan sabu-sabu itu.

“Kau...?” Ashwin membuyarkan lamunanku. Cahaya senter dan bola matanya yang mendelik tertuju ke tanganku, ke sekepal sabu-sabu yang tak sadar kugenggam erat sedari tadi. Aku menggerakkan senter ke bungkus paket yang kurobek tadi. Aku menatap Ashwin lalu Kayven lalu sabu-sabu di papan kayu lalu sabu-sabu di tanganku. Kulemparkan sabu-sabu yang ada di tanganku ke tanah, jatuh berserakan. Pangkalan militer ini tidak beres.

TEPLAK. TEPLAK. Kudengar bunyi langkah sepatu dari bagian dalam gua. Jantungku berdebar cepat. Seketika kami mematikan senter dan berlari keluar gua. Cara berlari yang persis kami lakukan seperti sebelumnya—hening dan cepat, tetapi lebih cepat dari yang pernah kami lakukan. Di samping gua terdapat banyak semak belukar yang lebat dan batu-batu yang besar. Tanpa pikir panjang, kami berlari ke sana dan bersembunyi cepat-cepat.

Selang beberapa saat, seseorang datang dari arah di mana kami berjalan masuk ke dalam gua. Dilihat dari cara berjalannya, dia sepertinya ingin masuk ke dalam gua. Seorang pria berusia tiga puluhan, mengenakan jubah kulit lengan panjang berkerah berwarna cokelat kehitaman yang lusuh dan sedikit kotor, rambut hitamnya dipotong cepak yang rapi dan bersih dari berewok seperti sehabis dari tukang potong rambut. Penampilannya dari luar sangat bagus dan modis seperti model, sudah semestinya dia memiliki otot yang kekar. Kuakui penampilannya mampu mengalihkan perhatianku. Pria garang itu berhenti tepat di depan gua. Ia memperhatikan bagian dalam gua dengan saksama, seperti menunggu seseorang untuk muncul dari dalam kegelapan. Benar saja, seorang yang lain keluar dari dalam gua. Ia memakai seragam tentara lengkap, yang seharusnya digunakan di pangkalan militer. Perhatianku dialihkan ke sepatunya. Sepatu itu yang bersuara. Tepat sekali.

Kuperhatikan mereka berdua tengah berbincang. Entah apa yang mereka bicarakan. Namun, semakin lama, masing-masing dari mereka berbicara dengan alis mengerut, jari-jari yang saling menunjuk, dan bibir yang merajuk. Nada bicara mereka bertambah nyaring seiring perdebatan. Kelopak mataku menyipit dan memasang telinga untuk menyimaknya.

DOR! DOR! DOR! DOR! Empat butir peluru berhasil melesat dari sebuah senjata api dengan mendadak dan melenyapkan tentara itu. Pria jubah hitam telah membunuhnya. Mataku melotot. Tenggorokanku menelan ludah. Jantungku berdebar bukan main. Seluruh tubuhku kembang kempis tidak karuan. Sebisa mungkin aku menahan suara sesak dari dadaku. Kepalaku menengok ke Ashwin dan Kayven, mereka sama takutnya denganku. Aku menoleh lagi ke pria itu. Tangan kanannya meraih HT dari celananya.

“Bunuh semua orang yang ada di sini!” Pria itu berteriak ke HT di cengkeramannya. Dia benar-benar mengamuk.

“Kita berpencar sekarang mencari teman-teman kita. Semuanya harus keluar dari sini,” bisikku serius. Kayven dan Ashwin mengangguk serentak. Kami berlari diam-diam dan berpencar dengan tergesa-gesa. Aku memilih tujuan ke daerah gedung observasi pangkalan militer karena aku mengira saat ini para pasukan sudah berjalan sampai di sana saat melakukan tur. Begitu aku sampai di halaman gedung, darah dan mayat berserakan di tanah.

“Sial!” Jeritan penyesalan ini keluar dari mulutku. Aku terlambat. Orang-orang suruhan pria itu dengan cepat menyerang mereka. Betapa keji. Menyadari keberadaan musuh yang mungkin sedang bersembunyi, aku bergegas melanjutkan pencarianku ke dalam gedung observasi.

“Besok pagi-pagi sekali aku berangkat ke sana. Kau pasti masih tidur saat aku berangkat nanti,” suatu nada indah terlintas di pikiran kacauku. Seingatku, semalam ada seorang perempuan yang mengatakan itu kepadaku. Perempuan yang membuatku selalu terjaga setiap kali aku menatap pupil matanya. Perempuan itu adalah seorang peneliti yang juga menjadi bagian dari tur pangkalan militer kami. Ia juga berteman dekat dengan kekasih Kayven yang seorang perawat. Dia ada di sini!

Aku masuk ke dalam gedung lewat pintu belakang dengan tujuan tidak ada yang melihatku. Dengan amat hati-hati, aku melirik ke kanan dan ke kiri, ke depan dan ke belakang. KRAK. Kakiku menginjak sesuatu yang keras. Pistol. Aku bersyukur pistol itu tidak remuk akibat injakanku. Kurampas pistol itu di dekat seorang mayat. Kuperiksa amunisi yang ada di dalamnya. Tinggal satu peluru. Aku tetap mengambilnya.

Kuteruskan perjalananku mencari perempuan itu. Kakiku terus-menerus berjinjit menghindari mayat seraya menciptakan keheningan. Aku menaiki tangga menuju lantai dua, tetap dengan lirikan waspada. Ada sebuah ruangan yang tertutup rapat oleh pintu besi. Aku berasumsi jika perempuan  itu ada di dalam sini. Aku menodongkan pistol, mengantisipasi jika musuh berada di balik pintu. Kakiku mendobrak pintu itu dengan sisa tenagaku. Aku menganga atas apa yang kutemukan. Kau, seorang profesor, dan tiga orang temanmu itu berpelukan satu sama lain sembari menangis di dalam sebuah laboratorium. Kau beranjak dari lantai tempatmu duduk, matamu sembab kulihat. Kita saling mendekat. Aku memelukmu erat dan menumpahkan air mataku yang telah menggenang. Aku tidak tahu mengapa aku menangis. Kurasakan tangan kecilmu mengelus punggungku. Aku merasa aman dan lega saat itu juga. Aku tidak ingin mati. Aku ingin hidup. Hatiku menggebu di saat pelukanmu terasa semakin hangat. Dengan terpaksa, aku melepaskan pelukanmu dan menyapu air mataku.

“Kita harus segera keluar dari sini. Seseorang telah menyuruh orang lain untuk membunuh semua orang yang ada di sini.” Mereka mengangguk paham lalu bergegas pergi mengikutiku.

Ketika kami mencapai pintu ruangan, seorang tentara asing mendadak masuk dan menutupi jalan keluar. Kami berjalan mundur karena panik. Kulihat sebuah tang di atas meja di sebelah kiriku. Aku meraihnya lalu kulemparkan ke wajah tentara itu, menancap tepat di bola matanya. Tentara itu kesakitan dan tergeletak ke lantai. Ini kesempatan untuk keluar dari ruangan. Dengan pergerakan yang persis seperti sebelumnya, kami berhasil lolos dari tentara itu dan menemukan udara segar di luar gedung. Tidak berhenti di sini, kami terus berlari hingga ke depan gerbang masuk pangkalan, melawan rasa penat dan sakit akibat ulah dari satu orang itu. Orang-orang yang lain yang juga berhasil selamat dilarikan ke depan gerbang masuk. Syukurlah, ada banyak orang di sini. Mereka yang berkumpul di sini adalah para peneliti, para pasukan tur, Ashwin, para perawat—oh, itu dia, Mireille, kekasih Kayven—tunggu, Kayven? Aku tidak melihatnya. Kucari-cari lagi di antara gerombolan, tidak ada Kayven.

“Mireille, di mana Kayven?” Aku menghampirinya. Raut wajahnya begitu sedih dan air matanya mengucur deras.

“Dia masih di dalam. Katanya, dia ingin mengulur waktu supaya tidak ada siapa-siapa lagi di dalam,” lengannya yang lemah terlihat berusaha menunjuk ke area pangkalan militer, nada bicaranya terbata-bata, dia menangis sesenggukan.

Mendengar kalimat itu, aku berlari cepat menuju pangkalan militer untuk mencari Kayven, menghiraukan mereka yang memanggil namaku. Sesampainya di area pangkalan militer, aku mengingat-ingat lagi ke mana arah tangan Mireille menunjuk. Ketika aku masih sibuk menoleh-noleh, Kayven keluar dari gedung observasi melalui pintu masuk bagian depan. Dia menghampiriku, cara berjalannya tidak seimbang.

“Di sini sudah kosong. Kau—semuanya aman?” Tanya Kayven, napasnya terengah.

“Aman. Semuanya sudah di depan,” jawabku. Ekspresinya segar seketika. “Kita harus keluar,” tambahku. Kayven mengangguk.

Sebelum melangkah pergi, aku terdiam menangkap sesuatu. Aku merasa diperhatikan, tetapi bukan dari Kayven. Beberapa pasang mata mengintip dari samping gedung, mengincar aku dan Kayven bak kawanan elang yang menemukan mangsanya.

“Lari!”

Aku dan Kayven berlari sekuat tenaga menuju gerbang. Jantungku tidak kuat lagi mendukungku berlari, tetapi apa jadinya jika kami berhenti sekarang. Sebuah truk bak terbuka datang menjemput kami di tengah pangkalan. Bak tersebut telah diisi oleh orang-orang yang selamat—dan perempuan itu.

“Kau pergi saja. Aku harus memasang bom di sana agar bisa—”

“Tidak. Jangan,” potong Kayven, rautnya memelas. Aku menatap Kayven, Ashwin—dia—dan semua orang yang ada di dalam bak truk. Tatapan yang kuberikan terasa seakan ini tatapan terakhirku.

Buru-buru aku kembali ke dalam wilayah pangkalan. Aku memasang sebuah bom jarak jauh di depan gedung observasi. Keringatku bercucuran, tanganku dingin gemetar, jantungku berdegup kencang, pikiranku kacau. Dengan segala emosi yang saling bertabrakan, aku berhasil mengotak-atik bom ini. Kuambil remot pengendalinya dari saku celanaku sehingga bisa kuledakkan saat aku sampai di depan gerbang. Waktunya pulang.

Tiba-tiba, seorang tentara asing memergokiku dari arah gedung. Dia berlari ke arahku. Secara spontan, tangan kananku mengangkat pistol dan satu butir peluru lolos mengenai dadanya. Aku membunuhnya. Tidak butuh waktu lama, tiga orang tentara yang lain bergantian keluar dari dalam gedung. Pistol di tanganku kutodongkan ke dada mereka. Oh, tidak. Aku lupa sisa amunisinya sudah habis. Pikiranku yang semakin kacau membuatku tidak bisa bergerak.

DOR! Sebuah peluru panas menembus pahaku. Sakit. Mereka berhasil melumpuhkanku. Aku terjatuh keras ke tanah berpasir. Ternyata aku hanya sampai di sini. Seraya merintih kesakitan, aku teringat bahwa aku mempunyai bom yang masih harus kuledakkan. Remotnya masih kugenggam di tangan kiriku. Napasku terengah. Kutengok, ternyata bom itu berada tepat di samping perutku.

Maafkan aku. Aku menekan tombol peledak sambil memejamkan mata, bersiap merasakan sakit.

BLAR!

Kicauan burung kecil di luar rumahku terdengar gaduh dan memekakkan telinga walaupun aku tahu mereka berada jauh di atas pohon. Kelopak mataku membuka perlahan, menyajikan pemandangan langit-langit kamar yang usang. Udara dingin menjalar ke seluruh kulitku, ternyata selimutku berada jauh dari badanku. Energiku terlalu lemah untuk bangkit mengambil selimut tebalku. Sambil masih telentang di atas kasur empuk ini, kakiku bersusah payah meraih selimutku. Segera aku membungkus sekujur tubuhku dengan selimut. Nikmat sekali. Posisi yang nyaman ini membuatku memiliki niat untuk kembali tidur, tetapi ada perasaan yang mengganjal. Otakku seperti sedang memproses atau mengingat sesuatu, kurasa.

Mimpi! Aku mengingatnya. Mimpi semalam sangat seru dan mendebarkan. Bagaimana bisa aku melupakan mimpi seseru itu? Aku harus menceritakannya. Aku menggosok pinggiran mataku dengan jari telunjuk, membersihkannya dari kotoran mata setiap bangun tidur. Kuambil ponsel di atas nakas di samping tempat tidurku. Aku tahu kepada siapa aku harus bercerita.

“Kau pasti masih tidur saat aku berangkat nanti. Cari aku saat kau sudah bangun.”

                                                                                                                                                                                                                                                 Selvira Galuh