Seribu Jejak Pulau Banda
Dilihat : 234
"Saya akan kembali, Maria.
Bila rindu, ingatlah ribuan jejak yang menjadi bukti akan adanya saya dihidupmu.”
Seribu Jejak Pulau Banda
Perjanjian, pola kata yang amat mudah terlontar dari bibir yang indah diwajahnya. Menurut pria berkulit putih khas keturunan Tionghoa yang memiliki sifat jiwa yang pendiam itu, janji adalah kemanisan yang disuguhkan kepada sesama manusia, dan yang menjadi bagian pahitnya adalah pengingkaran dari segala untaian kata manis tersebut. Banyak sekali arti dari kata janji, dan semuanya mengarah pada hal yang menjadi penyesalan pada akhirnya. Bodoh, para jiwa berhasrat itu amat merasa terjanjikan oleh janji.
Cinta, rasa nan penuh akan percikan warna gemilang yang terbendung di lubuk hati. Ragam warna yang beterbangan melukis akan hubungan yang mengait dengan keabstrakan, bahkan dideskripsikan pun rasanya sang Pujangga tak mampu. Cinta miliknya lah yang mengiringinya bak awan mengitari langit. Bagai lagu tak bernada, segala baginya yang berkait dengan cinta akan menambah gairah dalam dansa yang dilakukan keduanya.
Kira kira filosofi semacam itulah yang diyakini dan tertanam akan arti dari kalimatnya bagi seorang Antoni. Kedua hal itu menjadi pertanda akan memang tak ada arti asli antara Perjanjian dan Cinta.
Kisah Dimulai
BANDA NAIRA, pulau nan cantik dan telah menjadi tali penarik bagi para masyarakatnya. Keberuntungan tentang netra mereka yang bisa melihat negerinya dari banyak sisi, mulai menjadi saksi bisu akan segala tindak ketidakadilan dan kekerasan yang terjadi pada zaman penjajahan ratusan tahun lalu. Suara tembakan dari senjata api yang sekarang terpajang indah di museum sejarah itu juga pasti akan teramat membekas di Benteng yang terbangun di sana. Selain memori sejarahnya yang membekas, segala kisah di pulau ini pun demikian. Tuhan seakan tahu, segala jiwa yang meniduri pulau ini memiliki harapan tinggi kepada memori yang akan mereka kisahkan.
Tak jarang, seperti rasa akan kesedihan yang menyerang secara tiba-tiba, rasa bosan pun dapat datang demikian. Hilangnya gairah akan rasa senang dan menurunnya senyuman manis yang sudah mencari ciri khas dari dirinya. Dialah Maria, gadis cantik bak berlian asli dari Banda Naira. Rambut bergelombangnya, kulit manisnya, tak lupa kedua bola mata coklatnya yang berkilau. Dirinya menampakkan diri bak bidadari yang selalu ditunggu oleh banyak anak di sana. Selain kecantikkannya, Maria juga dikenal karena sifat penuh kasihnya. Semua anak yang menjadi peserta didiknya di taman belajar memanggilnya dengan ‘Nona Manis’. Panggilan yang berarti bagi Maria itu juga tak hanya keluar dari bibir para pelajar kesayangannya, panggilan itu juga menjadi panggilan sayang bagi Maria yang selalu terucap oleh Antoni. Pria istimewa dalam kehidupan Maria.
“Selamat pagi, Nona Manis.”, Sapaan indah itu mengawalkan pagi nan cerah bagi Maria.”
“Pagi, Tuan!”
Antoni segera duduk di sebuah kursi berbahan dasar rajutan kayu yang sudah lama menghias rumah Maria. Pandangannya tak ada habisnya dari sosok Maria yang kini tengah menyapu, “cantik sekali, sih.”, Pikir Antoni.
“Tumben sekali ke sini, Ton.”, Tanya Maria yang ia pikir biasanya hanya dapat bertemu Antoni selama di taman belajar.
Antoni tertawa, “dimimpi sudah diberi tugas, harus segera menemui Maria ucapnya.”, Lanjut Antoni.
“Terserah dirimu saja, deh.”, Maria hanya dapat menggeleng mendengar jawaban unik dari Antoni. “Kamu mau minum apa?”, Tawar Maria pada Antoni.
“Terserah saja, saya suka semuanya.”, Jawaban tersebut dilanjutkan dengan senyuman lembut milik Antoni. Senyuman manis yang menjadi senyuman favorit bagi seorang Maria.
Tak lama, sosok Maria pun perlahan menghilang dari pandangan Antoni. Aneh, tapi lucu. Rasanya seakan Tuhan sudah menugaskannya untuk segera menyelesaikan cerita kehidupan enam puluh harinya selama di Banda Naira. Pada awalnya, ia fikir berdiam di pulau ini hanya akan membuatnya semakin gila. Nyatanya? Sekarang, dirinya menjadi lebih nyaman dengan Banda Naira dan ingin bisa selamanya menetap di pulau cantik nan indah ini.
“Hey! Kenapa melamun?”, Maria datang dengan secangkir teh yang berada dipegangannya. Ia segera meletakkan cangkir teh itu tepat dihadapan Antoni.
“Ah, tidak mengapa, hanya sedikit pusing tadi.”, Antoni berbohong.
“Jika kamu merasa ada beban di dalam hatimu, jangan merasa sungkan untuk bercerita. Saya selalu menerima curahanmu, kok.”
“Kamu lupa, ya? Saya harus kembali ke Bangka tiga hari lagi.”, Jawab Antoni dengan raut wajahnya yang sendu.
“K- ke Bangka?!”
“Bangka, kampung halaman saya.”, Lanjut Antoni.
“Kenapa kamu tidak pernah memberi tahu saya bahwa secepatnya kamu akan kembali ke sana, Ton?”, Suara Maria semakin melemah, jika dirinya tak dapat menahan segala emosinya, saat ini juga bulir air mata itu akan memenuhi pipinya. Terdengar sepele, namun Maria sudah lebih dulu menyimpan segala rasa itu ke dalam hatinya. Rasa yang dipenuhi dengan kisah dan kata kata manis, rasa yang dipenuhi dengan janji, rasa yang dipenuhi dengan rasa rindu tak lupa dengan ekspetasi teramat tinggi.
“Kita tak pernah sedekat ini sebelumnya, Maria. Atas dasar itulah saya tak memberi tahumu. Sebelumnya, saya tidak pernah merasakan dan melihat seseorang yang merasa kehilangan akan diri saya.”
Maria mengerutkan dahinya, merasa tak terima akan penjelasan yang menjadi jawaban bagi Antoni. “Kita dekat Antoni.”, Jawab singkat Maria. “Semuanya dapat diukur dari segala umpan dan janji manismu untuk saya!”, Lanjutnya. Kini, tak ada lagi penahanan akan emosi bagi Maria. Bulir air matanya mengalir menderasi pipinya, rasa marah, kecewa, sedih, semuanya bercampur penuh menjadi isi kepalanya. Namun, bagaimana ia bisa mengakui satu hal?
“Saya cinta kamu, Antoni.”
Menuju Pada Hari ke Tiga
Antoni mengunci pintu kamar satu petak yang selama ini menjadi tempatnya untuk kembali selama di Pulau Banda. Ruangan yang tak seberapa besar, tak mewah dan megah pula, tetapi sangat nyaman bagi Antoni. Dirinya merasa, ruangan ini akan selalu menerima kedatangannya kapanpun, sama seperti Maria. Sayang, pagi ini Antoni benar benar dipenuhi akan rasa bersalah dan tak tenang. Rasa bersalah bagi Maria dan tak tenang untuk Maria. Akankah ia dapat menerima hal itu? Sungguh, kehidupannya selama di Pulau Banda akan ia ingat seumur hidupnya, cerita yang menjadi bagian penting baginya dan cerita pertama yang menambahkan unsur romansa bagi Antoni di dalam hidupnya.
“Cepat, Ton! Nanti kamu tertinggal kapalnya!”, Suara berat milik Paman Seno menganggetkan Antoni, suara berat dan besar itu membuat Antoni segera berlari meninggalkan teras rumah dan menyusul Paman Seno di depan pagar.
Keduanya berjalan dalam keheningan, seakan tak ada yang lebih dulu merasa percaya diri untuk memulai pembicaraan. Entahlah, Antoni sendiri tak tertarik dengan topik yang disukai oleh pamannya itu, topik politik. Topik yang amatlah berat baginya. Tak terasa, keduanya pun sampai di pelabuhan. Beberapa kapal sudah mulai berlabuh dengan tujuan yang berbeda, dan tentu saja, dengan kisah berbeda yang datang dari banyak penumpang.
Antoni tersenyum melihat seorang wanita yang memeluk suaminya yang akan segera pergi sendiri. Antoni seakan tergambarkan akan dirinya di beberapa tahun lagi. Siapa sosok yang akan dipeluk olehnya nanti? Apakah Maria? Atau wanita lain?
Antoni menarik nafasnya berat, melambaikan tangannya pada sang Paman dan mulai berjalan mendekati kapal yang akan segera mengantarnya menuju Bangka. Pandangannya beralih menuju ombak biru, seraya mengikhlaskan segala yang telah terjadi dan menjadi bagian dari kisahnya selama di Banda Naira. Lamunan itu membuatnya tersenyum sendiri, ‘rindu, pasti saya akan rindu dengannya.’
Hingga,
“Anton! Antoni!”, Suara teriakan yang amatlah tak asing ditelinga Antoni, dan yang jelas, ini adalah suara wanita.
“M-Maria?!”
Maria menunjukkan senyum sabitnya tepat setelah ia mendengar namanya dipanggil oleh Antoni. Kali ini tak ada lagi rasa marah dan kecewa yang mengganjal dihatinya. Sungguh, bahagia sekali rasanya dapat bertemu Antoni sebelum dirinya pergi meninggalkan Banda Naira.
“Saya selalu menerimamu, Antoni. Cepat kembalilah, saya merindukanmu!”
“Saya juga merindukanmu, Maria. Saya cinta kamu.”
“Laut itu jahat, ombak itu dingin, semua orang seakan menjadi buta. Yang kamu tinggalkan itu saya, Antoni. Segala janji dan balasan rasa yang manis itu ikut tenggelam bersamamu. Kecewa, namun semuanya terlanjur ikut hanyut bersamamu.”
TAMAT
Nadia Reza Putri