Pesawat Terbang
Dilihat : 93050
Seorang
gadis cilik berambut keriting itu bernama Bora. Sejak kecil ia hidup bersama
ibunya dan kakeknya karena sang ayah bekerja diluar kota. Setiap hari Sabtu ayahnya
pulang dan mengajaknya jalan-jalan berkeliling kota. Minggu sore ia
mengantarkan ayahnya pulang ke terminal. Rutinitas tersebut dilakukan sampai
Bora besar. Bora tumbuh menjadi anak yang cerdas, kritis, dan cerewet. Ia suka
bergaul dengan orang yang umurnya jauh diatasnya sehingga pola pikirnya
melebihi anak-anak seusianya.
Saat umur 4 tahun, Bora sudah
mulai sekolah. Setiap hari ia diantar jemput oleh budhenya karena ibunya harus
berjualan baju keliling. Ibunya merupakan sosok yang tegas dan protektif namun lembut
hatinya. Didikan ibunya bisa dilihat dari kebiasaan Bora yang tidak pernah
jajan sembarangan, bangun selalu pagi, disiplin terhadap waktu, dan rajin
belajar. Bapaknya tetap memantau Bora
meskipun dari jarak jauh.
Suatu ketika Bora melihat sebuah
film di televisi. Dalam film tersebut digambarkan bagaimana kehidupan orang
dewasa yang sibuk bekerja, naik pesawat, tidur di hotel, dan menggunakan baju
seragam yang rapi. Bora tiba-tiba berteriak dan menghampiri ibunya, “Ibu aku
mau seperti itu! Aku mau naik pesawat gratis, tidur di hotel gratis, dan makan
enak. Pokoknya aku mau jalan-jalan tapi gratis!”. Ibunya menjawab, “Iya, nak.
Suatu hari nanti pasti kamu akan seperti mereka. Sekarang kamu hanya perlu
rajin berdoa dan belajar supaya kamu jadi orang pintar.”
Setelah ibunya selesai
menasihati, kakeknya datang dan menghampirinya,
“Iya
Bora. Besok kalau kamu naik pesawat kamu lambaikan tangan ya. Nanti kakek juga
melambaikan tangan dari bawah.” dan Bora pun mengangguk dengan mata berbinar.
Saat pulang sekolah tanpa sengaja Bora membaca majalah yang menceritakan
tentang petualangan yang menceritakan keindahan negerinya. Setiap membacanya ia
selalu sibuk berimajinasi dan meyakini bahwa suatu hari dirinya akan melihat
keindahan tersebut secara langsung. Dia selalu membayangkan hal tersebut
sepanjang hari sampai ia tertidur.
Saat SD, Bora menjadi anak yang
pintar. Ia kerap menjuarai perlombaan dan olimpiade. Hal itu berlanjut sampai
di SMP. Di SMP Bora menjadi perwakilan sekolah untuk mengikuti Lomba Cerdas
Cermat (LCC) tingkat Provinsi Jawa Tengah dan mendapatkan peringkat ketiga. Puncaknya,
Bora lulus SMP dengan nilai yang memuaskan. Ia mendapatkan peringkat nilai UN
tertinggi keenam se-kabupaten. Setelah lulus dari SMP, Bora melanjutkan SMA
diluar kota. Keinginan Bora untuk sekolah diluar kota hampir pupus karena
keluarga tidak setuju. Alasan Bora ingin sekolah diluar kota adalah agar
mendapat pengalaman dan teman-teman yang baru. Akhirnya Bora mengirimkan surat
kepada ayahnya dan ayahnya menyetujuinya. Secepatnya Bora mengurus surat dan berkas-berkas
yang dibutuhkan. Akhirnya ia diterima di SMA yang diinginkan.
Kehidupan SMA dimulai dengan
adaptasi menjadi anak kos. Ia sangat senang dan mulai menikmati kehidupan barunya.
Mulai merasakan mencuci baju sendiri, menyetrika baju sendiri, membeli makan,
dan semuanya dilakukan sendiri. Akan tetapi, ia sering sakit. Selama tiga tahun
di SMA ia sering sekali izin dan bolak balik keluar masuk rumah sakit. Ibunya
menawarkan Bora untuk pindah sekolah ke tempat asal tetapi Bora tetap percaya
dan yakin bahwa ia bisa menyelesaikan tanggung jawab yang sudah dimulai dan
cita-citanya pasti tercapai. Selama di rumah sakit ia tetap belajar dan
mengejar ketertinggalannya. Sampailah pada kelas XII. Dari awal Bora memang
ingin sekali mendapatkan jalur undangan dan bersyukur ia masuk jurusan dan
universitas yang diimpikan. Satu per satu impian Bora terwujud. Bora sekarang
sudah menjadi anak kuliah.
Adaptasi menjadi anak kuliah
ternyata tidak mudah. Ia mengalami kesulitan dalam mempelajari ilmu yang
bersifat eksak seperti matematika dan statistika. Setiap mau ujian ia menangis
dan meminta doa pada ibunya.
“Bu,
doakan aku ya. Aku takut tidak lulus pada mata kuliah ini. Aku ingin sekali
pindah jurusan.” Tetapi ibunya selalu memberikan semangat dan mendoakannya. Salah
satu pesan ibunya yang selalu dia ingat adalah tetap menyelesaikan keputusan
dan tanggung jawab yang sudah dipilih. Semester demi semester ia lalui dengan
ucapan syukur. Pada semester tujuh, ia mulai menulis tugas akhir. Ia
mendapatkan dosen pembimbing yang mudah sehingga ia bisa lulus tepat waktu.
Sebagai hadiah lulus tepat
waktu, Bora ingin memberikan hadiah pada dirinya sendiri dengan naik pesawat.
Alasannya karena dari dia kecil sampai lulus kuliah belum pernah naik pesawat.
Tanpa disangka sebulan kemudian setelah wisuda Bora diajak live-in
diluar pulau. Bora tinggal selama sebulan disana. Pengalaman ini merupakan
pengalaman pertama yang membuat Bora naik pesawat. Ia sangat senang karena
selama ini belum pernah naik pesawat. Langsung saja bergegas packing baju
dan perlengkapan yang dibutuhkan. Sebelum berangkat, Bora foto-foto di bandara
dan selalu mengabadikan momen di pesawat. Sesampainya disana, Bora mengamati
setiap budayanya, orang-orangnya, dan kondisi lingkungannya. Bora seperti tidak
asing dengan kondisi tersebut.
Petualangannya tidak berhenti pada satu pulau. Ia lalu berkeliling ke
pulau-pulau yang lain bersama dengan teman-temannya, naik pesawat, tidur di
hotel, dan semuanya didapatkan secara gratis. Bora menyadari bahwa keindahan daerah
yang dia datangi sekarang sama seperti yang selama ini dibaca dan
diimajinasikan. Ketika Bora pulang ke rumah, ibunya berkata,
“Nak,
cita-citamu naik pesawat, tidur di hotel, jalan-jalan, dan semuanya gratis
sudah terwujud. Kamu harus bersyukur karena tidak semua orang mendapatkan
kesempatan seperti ini.”.
Semenjak saat itu setiap kali
Bora naik pesawat ia memandang keluar dengan takjub melihat guratan awan dan
berkata dalam hatinya,
“Terima
kasih Tuhan dan semesta sudah mewujudkan keinginanku untuk naik pesawat. Terima
kasih karena mimpiku menjadi kenyataan. Aku percaya kekuatan mimpi dan
keyakinan itu benar adanya.”
Mareta Larasati