Lika - Liku Program Makan Begizi Gratis ( MBG )

Dilihat : 24

Lika - Liku Program Makan Begizi Gratis ( MBG )

Sejak diluncurkan pada awal 2025, Program Makan Bergizi Gratis (MBG) digadang-gadang sebagai solusi besar untuk menyelesaikan masalah gizi di sekolah — dari stunting, kurang gizi, sampai mengurangi beban ekonomi keluarga. Namun, beberapa kasus keracunan massal di berbagai daerah telah mengguncang kepercayaan publik terhadap program ini.

Pertanyaan besar muncul: apakah MBG sudah dijalankan dengan aman dan sesuai standar? Apakah manfaatnya sebanding dengan risikonya?

 

Tujuan serta harapan utama dari program MBG ini sebenarnya mengarah pada :

  • Memberikan asupan gizi anak-anak sekolah, terutama di wilayah 3T (terluar, terdepan, tertinggal).
  • Mendukung pemenuhan gizi ibu hamil dan menyusui.
  • Mengurangi kesenjangan ekonomi dan sosial: anak-anak yang biasanya tidak sarapan atau membawa bekal bergizi diharapkan bisa menerima asupan yang sehat.

 

Ternyata dari program tersebut ada beberapa Fakta Krisis atau Kasus Keracunan Massal yang terjadi di beberapa tempat, serta gejala yang ada setelah para siswa menerima makanan tersebut.

  • Sejak peluncuran, banyak laporan keracunan: misalnya di Garut (Jawa Barat), Banggai Kepulauan (Sulawesi Tengah), Cianjur, dan sebagainya.
  • Gejala berkisar dari muntah, mual, pusing, sampai beberapa siswa harus dirawat di rumah sakit.
  • Jumlah korban: pada pertengahan September 2025, JPPI mencatat setidaknya 5.360 anak mengalami dugaan keracunan terkait MBG.
  • Pemerintah melalui Badan Gizi Nasional (BGN) mengklaim bahwa insiden keracunan hanya mencapai sekitar 0,5% dari total porsi makanan yang dibagikan.

Beberapa kemungkinan sumber masalah yang muncul dari laporan-laporan:

  1. Pengawasan dan kontrol kualitas yang minim
    Beberapa dapur penyedia makanan (SPPG) belum diawasi secara ketat, baik terkait sanitasi, distribusi, maupun cara penyimpanan bahan baku.
  2. Waktu distribusi yang terlalu lama / penyimpanan tidak memadai
    Karena jarak, atau penyimpanan sementara sebelum sampai ke sekolah bisa membuat makanan menjadi tidak aman.
  3. Bahan baku yang tidak segar atau sudah mulai rusak/basi
    Laporan banyak menyebut lauk, sayur atau bahan makanan yang memiliki bau tidak sedap, atau sudah tidak layak konsumsi.
  4. Menu dan kandungan gizi tidak sesuai harapan
    Ada kritik bahwa sebagian menu menggunakan banyak makanan ultra‑proses, atau tidak cukup memperhatikan gizi seimbang.
  5. Prosedur operasional masih panjang dan kompleks
    Beberapa pihak menyebutkan bahwa SOP (Standard Operating Procedure), pengawasan laboratorium, inspeksi dapur belum dijalankan konsisten di semua wilayah.

 

Dampak dari program tersebut mengingat telah terjadi di beberapa tempat dari kasus tersebut maka ada beberapa opini dari masayarakat :

  • Kesehatan anak: keracunan bisa menyebabkan gangguan pencernaan, dehidrasi, bahkan bila parah bisa mengancam nyawa.
  • Kepercayaan publik menurun: orang tua, guru, masyarakat mulai meragukan keamanan program. Ini bisa berdampak negatif terhadap partisipasi dan dukungan publik.
  • Biaya tambahan: perawatan kesehatan, investigasi, dan audit memerlukan alokasi dana tambahan.
  • Risiko politik dan sosial: program yang dimaksudkan sebagai solusi besar bisa menjadi beban kritik, jika tidak disertai akuntabilitas.

Berikut ini beberapa rekomendasi yang bisa dijadikan acuan:

  1. Evaluasi menyeluruh (audit/dewan pengawas independen)
    Audit atas seluruh rantai mulai dari pengadaan bahan baku, dapur, distribusi, sampai penyajian di sekolah. Pastikan tidak ada pintu kebocoran atau standar yang tidak terpenuhi.
  2. Perbaikan dan standarisasi SOP dan NSPK
    Harmonisasi standar keamanan pangan nasional; pastikan semua dapur penyedia memenuhi standar internasional misalnya HACCP atau equivalennya.
  3. Peningkatan pengawasan lokal dan partisipasi masyarakat
    Libatkan sekolah, orang tua, masyarakat setempat dalam pemantauan. Laporan insiden harus transparan dan mudah diakses.
  4. Pengendalian rantai distribusi
    Pastikan penyimpanan, transportasi, dan waktu antara makanan disiapkan sampai dikonsumsi di sekolah tidak terlalu panjang. Menjamin suhu, kebersihan, dan kecepatan distribusi.
  5. Pengaturan menu bergizi, seimbang, dan aman
    Tidak hanya fokus pada kuantitas (jumlah porsi) tetapi juga kualitas: kandungan gizi, minim penggunaan bahan yang mudah rusak, penggunaan bahan lokal yang segar.
  6. Sanksi dan respons cepat jika terjadi pelanggaran
    Bila ditemukan makanan basi, dapur yang tidak aman, harus ada konsekuensi administratif dan pidana/sanksi sesuai regulasi.
  7. Transparansi anggaran dan laporan hasil
    Publik perlu mengetahui realisasi anggaran, jumlah kasus, langkah perbaikan, agar bisa ikut mengawasi.

MBG adalah sebuah ambisi besar dan diperlukan untuk memperbaiki kondisi gizi anak-anak serta meminimalkan kesenjangan sosial di Indonesia. Namun, semua harapan itu bisa hilang jika pelaksanaannya tidak disertai standar keamanan pangan yang ketat, pengawasan yang konsisten, dan pertanggungjawaban yang transparan.

Lebih baik berhenti sementara untuk memperbaiki mekanisme daripada terus berjalan sambil terus menimbulkan korban. Anak-anak bukan hanya calon masa depan bangsa — mereka adalah generasi sekarang yang membutuhkan perlindungan sekarang juga.