Impian Pulang ke Kota Seribu Sungai

Dilihat : 469

“Kita harus ke Medan”.

         Saat itu aku dan kedua adikku tercengang, bukankah abah bilang ia ingin disini hingga hari tuanya, lalu sekarang mau keluar daerah. Beliau tidak menceritakan kepada kami anak - anaknya, tetapi mama cerita bahwa abah telah ditipu oleh temannya sendiri, yang melarikan uang bisnis mereka dan pertanggungjawaban telah ditandatangani atas nama abah, sehingga ia yang menanggung perbuatan temannya, sementara teman - teman bisnisnya yang lain turut membantunya  mencari teman mereka yang melarikan uang bisnis tersebut. Itulah alasan abah.

            Bukan dekat jarak pulau Sumatera dengan Kalimantan, tetapi ini sudah keputusannya. Kami percaya, meski hati berat meninggalkan kota tersebut. Abah meminta kami pergi berdahulu. Mama, aku, kedua adikku yang sudah besar dan dua adik kecilku lagi yang masih berusia empat dan satu tahun, kami berangkat semua. Reni dan Mira membawa dua tas koper masing - masing, sedangkan aku membawa satu koper dan memegang Hakim, sedangkan mama membawa satu tas sambil menggendong Miza. Hakim juga membawa tas ransel sendiri. Dua kotak masuk di bagasi pesawat. Meski sudah banyak yang ditinggal, tetap banyak barang yang dibawa sebab mama tidak ingin kami membeli barang atau baju baru disana.

         “Nanti kalian heboh kayak film home alone”, ujar abah dan tertawa, padahal pikirannya sedang tidak baik - baik saja.

         Dari kaca jendela pesawat, kami menatap kota itu yang semakin lama semakin kecil dari pandangan, ketika pesawat terbang lebih tinggi. Ku lihat menoleh ke samping, mama tidak bisa membendung kedua matanya yang basah, saat pesawat hendak take off. Harapan kami dapat kembali ke kota seribu sungai. Jarak pulau Kalimantan dan Medan yang jauh, membuat kami harus transit di jakarta. Benar kata abah, kami seperti di film home alone. Sesampai di bandara soekarno hatta - Jakarta, kami heboh mencari tempat masuk keberangkatan, ditambah memegang banyak barang dan dua anak kecil. Sebelumnya, kami singgah ke toilet dan bergantian menjaga dua adik kecil kami. Lalu kami mencari tempat keberangkatan ke Jakarta. Kami tidak malu bertanya kepada dua petugas bandara kemana arahnya, meski sudah pernah, tetapi sudah beberapa tahun yang lalu dan kami sudah lupa posisinya, apalagi bandaranya luas. Di tempat pemeriksaan barang, kami ditahan karena ternyata semua barang bawaan yang kami bawa sendiri belum diberi tanda bahwa barang telah di check di Bandara sebelumnya. Itulah yang membuat kami hampir ditinggal pesawat. Kami harus ulang melakukan baggage tag sebagai bukti bahwa barang telah diperiksa. Hanya kami -  penumpang yang belum memasuki pesawat. Nama kami pun dipanggil satu – persatu pada pengumuman di Bandara, kami berlari menuju lapangan pesawat, agar segera naik ke pesawat. Walaupun buru - buru tetapi kami tetap hati - hati karena banyak bawaan barang dan membawa dua anak kecil. Saat kami memasuki pesawat, semua mata memandang kepada kami. Rasanya memalukan. Ini bukan perjalanan yang santai, seperti orang - orang santainya melakukan perjalanan penerbangan. 

          Kini kami harus mengulang kembali mengawali hidup di kota metropolitan. Kami tinggal di rumah sewa yang tidak besar. Aku dan Mira - adikku yang sudah tamat kuliah, mulai mencari pekerjaan. Tidak mudah mencari pekerjaan di kota metropolitan. Banyak saingan dan penuhnya masih tenaga kerja. Setelah sebulan kami di Medan, abah pun datang. Kami sama - sama berprofesi sebagai guru. Setiap gaji yang kami peroleh, sedikit banyaknya kami sisihkan untuk mama agar menambah keuangan dalam memenuhi kebutuhan dan keperluan keluarga kecil kami. Keadaan membuat kami harus berhemat. Saat seperti ini, aku teringat waktu kami masih di kota seribu sungai, sebulan sekali abah membawa kami makan diluar. Kami makan di rumah makan khas kota Banjarmasin, rumah makannya berada di atas sungai, sampan - sampan berjejer melewati rumah makan itu dengan beberapa barang - barang dagangan mereka menuju pinggiran sungai, mereka bersatu untuk menjadi pasar terapung. Kota Banjarmasin yang ada di kalimantan selatan tidak luput dari sungai yang membelah wilayahnya dan mengiringi Pulau Kalimantan, sehingga kota itu dijuluki kota seribu sungai. Hingga sampai di malam hari, wajah - wajah kami terlukis bak rembulan, kami tersenyum bahagia dan tergelak dengan kasih sayang kedua orang tua kami dan candaan abah. 

        Tengah malam, aku tidak sengaja mendengar tangisan abah dan meminta maaf kepada mama. Ku dengar abah menjual rumah kami satu - satunya disana. Beliau meminta maaf. Ia melakukannya demi hal bisnisnya yang belum selesai waktu lalu. Aku bergegas masuk kamar ketika suara pintu kamar terdengar.

        “Tidak ada cara lain untuk bisa bertahan, selain dengan menghemat sebaik mungkin. Hindari berhutang, meminta dan menceritakan keadaan kita. Sebab dahulu, hidup kita  terasa mudah, sekarang terimalah keadaan ini”.

        Itulah nasihat mama kepada kami. Beruntunglah sejak kecil kami diajari mama untuk tidak boros, sehingga tanpa disuruh berhemat pun, kami menggunakan uang dengan baik. Tidak hanya itu, demi kesehatannya ia mengurangi rokok dan minum kopi. Sebab biasanya abah setiap hari suka minum kopi, sehari tiga kali. Mama membiasakan beliau untuk tidak sering minum kopi dan merokok. Abah juga memancing setiap hari Sabtu dan Minggu di laut yang tidak jauh dari daerah rumah, bersama bapak - bapak tetangga yang hobi memancing dan beliau sesosok yang entah bagaimana selalu beruntung ketika memancing. Ia mendapatkan ikan yang banyak dan besar. Bisa untuk makan kami selama beberapa hari.

        Lalu suatu hari, abah pergi hampir seharian menjumpai seorang teman bisnisnya dari Banjarmasin. Sepulangnya, ia terlihat bahagia dan membawakan kami satu persatu es krim. Kami pun sangat gembira dan langsung menyantapnya. Abah bercerita dengan mama dan mengabarkan kepada kami, beliau akan kembali ke Banjarmasin karena bisnisnya mulai membaik.

       “Tahun depan, jika tabungan abah sudah cukup, kita akan kembali kesana”, kata abah sambil memandangi kami satu - persatu dengan wajah yang bahagia.

       “Dan pelan - pelan abah akan kumpulkan uang untuk kita beli rumah lagi, ya ma”, lanjut abah.

        Dua minggu setelahnya, abah berangkat kembali ke kota seribu sungai. Satu persatu bergantian kami menyalaminya dan abah memeluk kami. Sudut kedua matanya basah, begitupun mama. Tatapannya penuh harapan dan impian agar berkumpul lagi dengan kami seperti dahulu di kota seribu sungai.

        Setelah beberapa bulan abah meninggalkan kami, adikku - Hakim yang berusia enam tahun, tiba - tiba merindukan abah. Aku pun menuruti permintaan Hakim dengan menelepon abah.

         “Kapan abah kesini lagi?”.

         “Kapan kami ikut abah pulang kesana lagi?”

         “Hakim sudah rindu sekali sama abah”.

         Setahun abah sudah disana, belum ada kabar kami untuk bisa kembali kesana.

         Lalu Abah kembali ke Medan untuk melepas rindu terhadap kami. Ia meminta maaf karena belum bisa membawa kami kesana. Tabungannya masih belum cukup. Walaupun aku dan Mira sudah bekerja dan mengatakan kepada abah serta mama, untuk tidak perlu memikirkan ongkos kami berdua. Tetap saja abah bilang belum bisa untuk membawa kami kembali kesana. Banyak yang harus ia pikirkan. Seperti rumah sewa disana lebih mahal daripada di kota Medan dan biaya ongkos yang tidak sedikit.

        “Doakan semoga urusan abah lancar, agar kita bisa berkumpul lagi dan memiliki rumah lagi. Sabar ya anak - anakku dan mama. Doakan abah”, ujar abah sambil mencium kening mama.

        “Kami selalu doakan abah”, sahut mama.

        Setelah tiga Minggu ia di Medan, abah kembali ke Kalimantan, untuk mengurus pekerjaaan bisnisnya. Lagi - lagi kedua sudut matanya basah karena harus berjauhan lagi dengan kami, begitupun Hakim yang sedang sakit dan tidak ingin jauh darinya. Sedangkan adik kecil kami satu lagi - Miza masih berusia dua tahun, meskipun masih kecil tetapi ia telah mengenal abahnya dan ikut menangis setelah abah pamit dan masuk ke ruang keberangkatan. Ia hanya tahu menangis ketika melihat beliau pergi. Hakim juga menangis di rumah saat abah berpamitan dengannya, ia tidak diizinkan ikut bersama kami karena sedang sakit. Mira tetap di rumah untuk menjaganya.

       Setelah setengah tahun, abah tidak kembali ke Medan demi mengumpulkan uang agar kami bisa segera kembali kesana, Hakim sudah tidak sabar menunggunya balik ke medan. Enam bulan sejak abah pergi, Hakim sakit kembali dan meminta untuk menelepon abah. Aku pun menurutinya dan menelepon beliau dengan panggilan video. Sudah empat hari Hakim sakit dan sudah dibawa berobat, tetapi ia belum kunjung sembuh. Pertanyaan yang selalu berulang Hakim ucapkan.

         “Kapan abah kesini lagi?”.

         “Kapan kami ikut abah kesana?”

         “Hakim sudah rindu sekali sama abah”.

         Ku pandangi mama yang duduk disamping Hakim, ia menahan air matanya. Aku ke kamar dan mengusap air mataku yang tidak bisa ku bendung lagi. Dalam tidurnya di malam hari, Hakim terus memanggil abah dan mengigau.

        “Abah.. kapan kita pulang ke Banjar, Hakim sudah rindu abah. Abah..”.

        Mama memberikan kompres air dingin di keningnya dan tidur disampingnya sambil menenangkannya. Hingga di hari ke enam, Hakim belum kunjung sembuh. Mungkin ku pikir ia sakit juga karena merindukan abah. Mira pun bergantian menelepon abah dan memberikannya pada Hakim yang tengah rebahan.

       “Hakim sembuh dulu ya, tidak sampai tahun depan, jika abah punya uang yang cukup, kalian bisa kembali kesini, ya Hakim, sabar ya nak”.

       Hakim mengangguk.

       Malamnya, ia menggigil kedinginan. Aku sibuk membantu mama, menyediakan air hangat kompresannya karena ia kedinginan dan mencari selimut dan obat resep dokter. Mama terus disamping Hakim. Sedangkan aku menjaga Miza yang sudah tertidur lelap dan tidur disampingnya. Kami tidur satu kamar karena tidak ada abah dan mama yang sibuk merawat Hakim yang sakit. Mira dengan adik perempuan satu lagi - Reni tidur di kamar sebelah. Saat ku terbangun, hal yang mengejutkan terjadi. Mama panik dan memanggil Hakim yang tidak sadarkan diri, namun matanya masih terbuka sedikit. Aku dan Mira mencari bantuan ke tetangga sebelah yang kebetulan punya sepeda motor. Untunglah tetangga itu terbangun dan mengizinkanku untuk meminjam sepeda motornya. Aku pun membonceng Hakim dan mama. Saat itu pukul tiga malam. Untunglah ada klinik terdekat buka dua puluh empat jam melayani. Sesampai disana, dua perawat yang ada dan mereka pun menelepon dokter untuk menangani lebih lanjut keadaan Hakim yang katanya sudah parah. Dokter menyarankan agar Hakim dibawa ke rumah sakit dan klinik itu tidak bersedia mengantar kami dengan ambulan mereka, tidak tahu entah alasan apa yang jelas, mereka menyarankan dengan meminjam mobil. Mama pun dengan cepat kembali ke rumah dengan bersepeda motor. Menggedor pintu - pintu tetangga yang punya mobil. Berharap ada yang mendengar panggilannya demi si buah hati - Hakim. Tetapi tidak satupun yang membuka pintu.

       “Hakim harus kuat”, bisikku kepada Hakim dan memeluknya dalam baringnya.

       Tidak lama kemudian abah menelepon. Mira telah memberi tahu abah saat kami berangkat ke klinik. Isak tangisnya terdengar. Ia merasa tdak bisa membahagiakan kami, apalagi Hakim sedang sakit dan ia jauh disana.

      “Hakim kamu harus kuat nak, abah akan menjemput kalian. Abah janji kita akan berkumpul lagi disini”.

       Hingga Hakim menghembuskan napas terakhirnya di klinik itu. Pecah tangis abah semakin terdengar dari panggilan video. Tidak lama kemudian, aku meminta izin untuk mematikan panggilan video abah dan menelepon mama dengan tangan yang bergetar mengklik panggilan ke nomor mama

       “Tidak ada yang mendengar panggilan mama, Hani. Tidak ada mereka yang punya mobil bisa dibangunkan. Bagaimana ini Hani?”, jelas mama dengan suaranya yang terdengar bergetar.

       “Sudah ma, tidak perlu, Hakim sudah meninggalkan dunia ini”.

       Mama tidak berkata apapun, isak tangisnya tidak membuatku kuat.

        Abah sangat merasa bersalah karena belum sempat menuruti keinginan anak laki - lakinya untuk bertemu dengannya. Di depan pusara, abah bertekuk lutut dan menangisi kepergian anaknya. Ia baru bisa beli tiket setelah satu hari Hakim dikuburkan.

       “Hakim anakku, maafkan abah nak, Hakim..”.

        Dua Minggu abah di Medan, ia mengatakan harus kembali ke Kalimantan lagi. Ia akan bekerja keras agar kami bisa segera kembali kesana bersamanya. Sebelum besoknya ia berangkat kembali, Ia menghabiskan waktu di Minggu sore itu, dengan duduk bersama kami. Teh dan roti menemani kami berkumpul. Beliau duduk di samping mama dan sembari memangku Miza.

         “Hakim sudah bahagia disana, ma, jangan berlarut sedih”, kata abah.

          “Kebahagiaan dan kedukaan itu telah terlokasi di waktu tertentu. Jika kita sedang sedih, pergilah bersama angin, yang perlahan membawa sedih kita pergi jauh. Jika kita sedang bahagia, maka jadilah matahari yang membagikan cahayanya untuk banyak orang”, lanjut abah.

       “Maksudnya apa bah?”, tanya Mira.

       “Keadaan bahagia maupun duka akan datang sesuai waktunya. Mungkin saat ini kita bersedih karena kepergian Hakim, tapi suatu hari jika sudah waktunya, kita akan bahagia karena hal lain. Kalau kita sedang sedih, boleh menangis, tetapi jangan berlarut, yang sudah terjadi anggaplah seperti angin lalu, ikhlaskan, karena ini hanya sedih dunia. Dunia hanya sementara, begitupun sifat - sifatnya. Terus jika sedang bahagia, berilah kebahagiaan kita untuk orang lain, apa yang kita bisa bantu atau kita beri dari apa yang kita miliki.”

        Setelah beberapa bulan terlewati, abah belum bisa mengabari kapan kami bisa kembali kesana. Justru yang terdengar, beliau masuk rumah sakit karena jantungnya kumat. Tetapi ia hanya tiga hari di rumah sakit. Dokter juga menyatakan penyakitnya sudah sembuh total. Selama ini abah rajin mengobati dirinya dengan obat herbal dan kopi serta rokok yang sudah jarang dikonsumsi karena mama telah membiasakannya. Aku lega mendengar kabar baik abah.

        Beberapa hari setelahnya, aku tidak menyangka dengan rancangan Tuhan dalam kehidupan keluarga kecilku. Jam mengajar telah selesai, saat aku mau keluar kelas, Mira menghampiri dan memelukku sambil menangis.

       “Kenapa Mir?”.

      “A.. abah meninggal, kak”, ujarnya dan memelukku erat.

       Kedua kalinya yang buat jiwa ini bergetar kaget, setelah meninggalnya Hakim, kini disusul meninggalnya abah. Rasanya tidak mungkin secepat ini. Bukankah dokter telah menyatakan abah sudah sembuh. Kami secepatnya pulang dan mama sedang terduduk sembari melakukan panggilan video dengan keluarga abah disana. Terlihat abah sedang dikafani, dipersiapkan untuk segera di kubur. Ku lihat wajah abah dari panggilan video dan kami tidak kuasa menahan tangis kepergiannya. Begitu banyak impiannya bersama kami. Tetapi di balik rencana kita, ada rencana Tuhan yang tetap kita jalankan.

 “Impian kita, bersama abah dan Hakim untuk kembali bersama ke kota seribu sungai, mungkin tidak terwujud karena mereka sudah tiada. Jika  kita kembali, maka semua tidak akan sama lagi”, ujar mama.

“Iya ma, impian kita pulang kembali bersama mungkin hanyalah impian saja, tetapi impian kita menjadi impian yang menyejarah sejati di hati kita”, kata Mira.

        Aku mengusap air mata mama dan kami - anak - anaknya memeluknya.

          “Kita harus ingat ma, apa yang dibilang abah, keadaan bahagia maupun duka akan datang sesuai waktunya. Bukankah kita dahulu juga bahagia bersama abah dan Hakim”, kataku.

         Jika suatu hari kami kembali dan melintasi bandara soekarno dan syamsudin noor, maka kami akan ingat momen kami seperti di home alone bersama adik tercinta kami - Hakim . 


Nuzul Ramadani