IHSG Anjlok , Bursa Efek Indonesia Berlakukan Trading Halt

Dilihat : 100

IHSG Anjlok , Bursa Efek Indonesia Berlakukan Trading Halt

Pada hari Selasa, 18 Maret 2025, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami penurunan signifikan sebesar 6,12%, ditutup di level 6.076,08. Penurunan tajam ini memicu penghentian sementara perdagangan saham (trading halt) oleh Bursa Efek Indonesia (BEI), yang merupakan langkah darurat untuk mencegah aksi jual lebih besar.

Mengapa IHSG Anjlok?
Beberapa faktor utama yang berkontribusi pada penurunan IHSG meliputi ketidakpastian ekonomi domestik, ketegangan geopolitik global, serta penurunan kinerja sektor manufaktur dan komoditas.

 

1. Faktor Ekonomi Domestik

a. Defisit APBN dan Dampak Program Sosial Pemerintah

Salah satu pemicu utama tekanan di pasar saham adalah kondisi fiskal Indonesia yang semakin terbebani. Pada Februari 2025, penerimaan pajak negara tercatat turun 30,19% (year-on-year) menjadi Rp 269 triliun, yang menyebabkan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mencapai Rp 31,2 triliun.

Selain itu, program makan gratis nasional yang diluncurkan oleh Presiden Prabowo Subianto dengan anggaran tahunan mencapai $28 miliar (sekitar Rp 440 triliun) memicu kekhawatiran mengenai pembiayaan jangka panjang negara. Investor mulai meragukan apakah program ini akan meningkatkan daya beli masyarakat atau justru semakin membebani APBN dalam jangka panjang.

b. Dampak Suku Bunga dan Inflasi

Bank Indonesia (BI) belum memberikan sinyal kuat terkait pemotongan suku bunga dalam waktu dekat, meskipun ekonomi domestik mulai melambat. Saat ini, suku bunga acuan bertahan di level 6,25%, yang dinilai terlalu tinggi bagi pertumbuhan ekonomi. Selain itu, tekanan inflasi akibat kenaikan harga pangan dan bahan bakar juga membuat daya beli masyarakat melemah, sehingga menghambat pertumbuhan ekonomi.

c. Kejatuhan Saham-Saham Big Cap

Saham-saham dengan kapitalisasi besar (big cap) menjadi korban aksi jual besar-besaran. Beberapa saham unggulan yang mengalami penurunan signifikan antara lain:

  • BBCA (Bank Central Asia): Turun 5,8%
  • TLKM (Telkom Indonesia): Turun 6,3%
  • ASII (Astra International): Turun 7,1%
  • GOTO (GoTo Gojek Tokopedia): Anjlok 10%, mencapai batas auto reject bawah (ARB)

 

2. Faktor Global dan Geopolitik

a. Eskalasi Konflik Rusia-Ukraina dan Timur Tengah

Konflik geopolitik global terus meningkat, terutama setelah eskalasi perang antara Israel dan Hamas di Gaza, serta meningkatnya ketegangan antara Rusia dan NATO di Eropa Timur. Investor khawatir bahwa ketidakstabilan global ini dapat mengganggu rantai pasok global dan memperburuk kondisi ekonomi dunia.

b. Kekhawatiran Resesi di Amerika Serikat

Di Amerika Serikat, The Fed (Bank Sentral AS) masih belum memberikan kepastian mengenai kebijakan suku bunga. Investor global semakin khawatir bahwa resesi di AS semakin dekat, yang dapat berdampak pada pasar saham global, termasuk Indonesia.

c. Dampak Perlambatan Ekonomi China

Sebagai mitra dagang terbesar Indonesia, perlambatan ekonomi China berdampak langsung pada ekspor Indonesia. Harga komoditas seperti batu bara, minyak sawit (CPO), dan nikel mengalami penurunan signifikan, menyebabkan tekanan besar pada perusahaan-perusahaan berbasis komoditas di Indonesia.

 

3. Krisis di Sektor Manufaktur Indonesia

a. Dampak Barang Murah dari China

Beberapa perusahaan manufaktur besar di Indonesia mengalami kesulitan akibat membanjirnya barang murah dari China. PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), salah satu perusahaan tekstil terbesar di Indonesia, mengalami kebangkrutan dan harus mem-PHK lebih dari 10.000 karyawan akibat ketidakmampuan bersaing dengan produk impor murah.

b. Penutupan Pabrik dan PHK Massal

Selain Sritex, beberapa pabrik tekstil lain seperti Pan Brothers dan Duniatex juga mengalami kesulitan dan melakukan PHK massal. Sektor manufaktur yang sebelumnya menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia kini semakin terpuruk, menyebabkan dampak luas terhadap lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi.

 

4. Langkah-Langkah Bursa Efek Indonesia dan Pemerintah

Untuk mengatasi kepanikan di pasar saham, Bursa Efek Indonesia (BEI) memberlakukan beberapa kebijakan darurat, antara lain:

  1. Trading Halt: Perdagangan saham dihentikan sementara selama 30 menit setelah IHSG turun lebih dari 5% dalam satu sesi perdagangan.
  2. Pengawasan Ketat terhadap Saham-Saham Gorengan: Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mulai memperketat aturan terhadap saham-saham dengan volatilitas tinggi untuk mencegah aksi spekulatif yang berlebihan.
  3. Intervensi Investor Institusional: Pemerintah dan beberapa perusahaan investasi pelat merah, seperti BPJS Ketenagakerjaan dan Taspen, mulai meningkatkan pembelian saham untuk menahan laju penurunan IHSG.

Dari sisi kebijakan fiskal, pemerintah berencana untuk:

  • Mengurangi defisit anggaran dengan menaikkan pajak atas sektor digital dan e-commerce.
  • Menambah insentif bagi industri manufaktur agar lebih kompetitif terhadap produk impor murah dari China.
  • Mendorong percepatan proyek infrastruktur untuk meningkatkan investasi di dalam negeri.

 

Kesimpulan dan Prediksi ke Depan

Penurunan IHSG sebesar 6,12% ini merupakan yang terbesar dalam dua tahun terakhir, sejak pandemi COVID-19. Investor saat ini masih cenderung berhati-hati karena situasi ekonomi domestik yang kurang kondusif serta ketidakpastian global yang terus meningkat.

Beberapa analis memperkirakan bahwa IHSG akan mengalami volatilitas tinggi dalam beberapa bulan ke depan, tergantung pada perkembangan kebijakan ekonomi pemerintah serta kondisi global. Namun, jika langkah-langkah pemulihan ekonomi dapat dijalankan dengan baik, maka pasar saham Indonesia masih memiliki peluang untuk bangkit dalam jangka menengah hingga panjang.