USAI

Dilihat : 166

Aku masih duduk di samping peti jenazah Pak Adi. Beberapa pelayat datang memberikan ucapan belasungkawa. Aku masih belum bisa sepenuhnya memahami kenyataan ini. Pak Adi ternyata Ayah kandungku yang selama ini aku cari. Sejak almarhum Ibuku meninggal dua tahun yang lalu, aku memang mencari dimana Ayah berada. Karena menurut cerita Tante Ari, Ayah masih hidup. Sedangkan mendiang Ibu mengatakan Ayah sudah meninggal, itu karena Ibu sangat benci Ayah. Bahkan Ibu tidak sudi bertemu dengan Ayah lagi di sisa hidupnya.

Setahun terakhir, Pak Adi menjadi driver ojek online langgananku. Aku juga tidak pernah curiga kenapa Pak Adi sangat baik padaku. Sering memberiku roti atau makanan kecil lainnya saat mengantar aku sekolah, beliau bilang ini buat bekal sekolahmu. Air mata ini tak mau berhenti mengalir mengingat semua kebaikan beliau dan kedekatan kami setahun terakhir. Bodohnya aku, tak tahu kalau itu Ayah kandungku sendiri, yang selama ini aku cari.

Sekarang usiaku 15 tahun, dulu, Ibuku pernah bercerita bahwa Ayah meninggal terkena serangan jantung. Tapi Ibu tidak pernah memperlihatkan foto atau dokumen apapun tentang Ayah kepadaku. Ibu beralasan semua dokumen rusak akibat bencana banjir bandang di desa tempat rumah Kakekku tinggal. Aku percaya dengan semua cerita Ibu waktu itu.

Setelah kepergian Ayah, Ibu tidak menikah lagi, Ibu membesarkan aku seorang diri. Ibu pekerja keras yang sangat mandiri. Ibu ingin sekali membuat aku sukses dan bahagia.

Aku tumbuh tanpa kasih sayang Ayah. Seringkali aku berkhayal memiliki keluarga yang lengkap dan bahagia. "Ibu sanggup menjadi Ibu sekaligus Ayah yang baik untukmu nak, Ibu akan berjuang untuk masa depanmu, fokuslah belajar, supaya kelak kamu sukses," begitu ucap Ibu setiap kali aku bertanya, mengapa aku tidak punya Ayah lagi.

Pertemuanku dengan Pak Adi berawal setahun yang lalu. Sejak Ibu meninggal, aku diasuh oleh Tante Ari, adik Ibuku yang paling kecil. Tante Ari seorang karyawan pabrik sepatu, sering pulang malam karena tugas lembur. Hujan deras sore itu, sedangkan Tante belum pulang dari pabrik dimana Tante bekerja. Akhirnya Tante minta tolong Bu Indah, wali kelasku untuk mencarikan ojek di depan sekolah untuk mengantarku pulang. Dan tukang ojek itu ternyata Pak Adi. Kemarin aku baru tahu kalau ternyata Pak Adi memang selalu siap di depan sekolahku khusus untuk menjemput aku.

Pak Adi orang yang sangat baik, ramah dan sabar, suka bercanda. Sering beliau rela menunggu aku yang pulang molor saat ekstrakurikuler berenang. Pak Adi juga selalu siap jika aku telfon minta tolong diantar ke toko buku untuk membeli buku atau keperluan sekolah lainnya. Tante Ari juga sangat senang, karena tidak khawatir lagi sebab ada tukang ojek yang selalu siap sedia mendampingi aku.

Tante Ari tidak mengenal sosok Pak Adi, apakah mungkin Pak Adi yang ternyata ayah kandungku ini wajahnya telah banyak berubah, sehingga Tante Ari tidak mengenalinya.

Banyak kenangan melintas di pikiranku. Sebulan yang lalu, aku ingat sekali. Pak Adi menjemput aku dari rumah Kinan, temanku, karena kami ada tugas kelompok yang harus diselesaikan. Karena perutku lapar, akhirnya Pak Adi mengajak aku makan nasi goreng di warung dekat sekolah.

"Ayo Tania, kita makan dulu yok, daripada nanti masuk angin, ini sudah malam nak," ajak Pak Adi sambil memarkir motornya.

"Tapi Pak Adi sudah ijin Tante belum? Nanti aku dimarahi kalau nggak makan di rumah," kataku cemas.

"Tenang saja, Pak Adi sudah WA Tantemu, sudah diijinkan. Tantemu juga pulang terlambat hari ini, lembur lagi."

Kami makan dengan lahap, Pak Adi bercerita tentang masa lalunya saat sekolah. Katanya dulu sering dimarahi guru, karena Pak Adi sering bolos tetapi malah main layangan di lapangan belakang sekolah.

Pak Adi juga tidak pernah lupa membawakan sebotol air mineral saat aku berangkat sekolah setiap hari Rabu. “Ini minumnya dibawa nak, hari ini kamu olahraga kan? Pasti tidak cukup bekal minummu kalau hanya sebotol. Kamu harus cukup minum supaya tidak sakit," selalu begitu kata Pak Adi kepadaku.

Aku yang tak pernah bertemu Ayahku sejak kecil, tak pernah diperhatikan dan disayang oleh Ayah, merasa sangat bahagia dengan kehadiran Pak Adi dalam hidupku. Beliau sangat memperhatikan dan menyayangi aku.

Kenyataan kalau Pak Adi ayahku, aku baca dari surat yang dititipkan Pak Adi ke Ibu Nanik, pemilik kontrakan yang ditempati Pak Adi. Bu Nanik menyampaikan surat itu sesaat setelah kabar duka kuterima, Pak Adi meninggal karena sakit di organ pencernaan ya. Di dalam amplop surat itu juga aku temukan foto copy akte kelahiranku.

Tania, anakku tersayang

Maafkan Ayah ya Nak, kalau selama ini tidak jujur padamu, tidak terus terang kalau aku Ayahmu. Ayah tidak punya cukup keberanian untuk bicara hal itu padamu anakku.

Ayah telah lama menunggu waktu bisa bertemu denganmu. Ayah tidak bisa menghubungimu karena ayah takut dan malu pada almarhum Ibumu. Ayah punya dosa besar pada Ibumu, sehingga Ibu sangat benci Ayah.

Ayah sangat menghormati keputusan Ibumu nak, sehingga Ayah memilih jauh dari Ibu dan kamu. Ayah telah berusaha minta maaf pada Ibu, tapi luka yang Ayah goreskan di hati Ibumu terlalu dalam. Ayah sangat maklum itu.

Kalau kamu tahu, Ayah tak pernah benar-benar pergi jauh dari hidupmu, bagaimana bisa Ayah tidak memperhatikan anak perempuan Ayah satu-satunya. Setiap hari Ayah selalu menunggu di setiap gerbang sekolahmu, sejak kamu di taman bermain, taman kanak-kanak, SD, SMP dan sekarang kamu sudah SMA.

Panjang dan sangat lama hukuman yang Ayah terima karena kejahatan Ayah dulu. Dua tahun dalam terali besi telah Ayah jalani. Tetapi hukuman terberat yang Ayah rasakan adalah tidak bisa lagi ada, memeluk dan melindungi kamu dan Ibumu.

Tania, terimakasih ya sudah mengijinkan Ayah hadir dalam hidupmu. Walaupun terlalu singkat tapi Ayah sangat bahagia. Bisa melihtmu tumbuh menjadi gadis cantik yang baik. Sopan dan tegas, pandai dan mau kerja keras. Ayah bangga padamu Nak. Sekarang Ayah mengerti mengapa Ibumu sangat sombong tidak mau menerima Ayahmu ini lagi, ternyata Ibumu benar-benar hebat mendidikmu, walaupun sendiri Ibu mampu merawatmu sebaik ini.

Tania anakku, Ayah harap kamu tidak marah dengan kebohongan Ayah. Ingatlah yang indah-indah saja tentang kita. Semangatlah terus meraih mimpimu menjadi seorang psikolog. Ayah doakan kamu selalu sukses.

Selamat tinggal Tania, maafkan Ayah, Ayah selalu menyayangimu Nak.

Kupegang kembali tangan Ayah yang sudah dingin dan kaku.  Meski batinku ingin Ayah ada dalam hidupku di masa-masa yang akan datang,  tetapi inilah kenyataan yang harus aku terima.  Terlalu pahit rasanya.

Aku peluk  jasad Ayah dengan tangisan pelan, mungkin Ayah juga sedang menangis disana. Bagaimana dengan bahagia yang kuharapkan? Ternyata harus berhenti di titik ini.

Kubayangkan Ayah memelukku erat, seerat aku memeluk jasad Ayah. Entah perasaan apa yang ada saat ini. Sedih yang sudah tak bisa dinalar.

Langkah kecilku makin pelan. Pulang ke rumah. Selesai sudah perjalanan panjang ini. Hatiku terlalu lelah. Semua sudah usai.

                                                                                                                                                                                                                                                                                  Rafqa Pietra