USAI
Dilihat : 250
Aku masih duduk di samping
peti jenazah Pak Adi. Beberapa pelayat datang memberikan ucapan belasungkawa.
Aku masih belum bisa sepenuhnya memahami kenyataan ini. Pak Adi ternyata Ayah
kandungku yang selama ini aku cari. Sejak almarhum Ibuku meninggal dua tahun
yang lalu, aku memang mencari dimana Ayah berada. Karena menurut cerita Tante
Ari, Ayah masih hidup. Sedangkan mendiang Ibu mengatakan Ayah sudah meninggal,
itu karena Ibu sangat benci Ayah. Bahkan Ibu tidak sudi bertemu dengan Ayah
lagi di sisa hidupnya.
Setahun terakhir, Pak Adi
menjadi driver ojek online langgananku. Aku juga tidak pernah curiga kenapa Pak
Adi sangat baik padaku. Sering memberiku roti atau makanan kecil lainnya saat
mengantar aku sekolah, beliau bilang ini buat bekal sekolahmu. Air mata ini tak
mau berhenti mengalir mengingat semua kebaikan beliau dan kedekatan kami
setahun terakhir. Bodohnya aku, tak tahu kalau itu Ayah kandungku sendiri, yang
selama ini aku cari.
Sekarang usiaku 15 tahun,
dulu, Ibuku pernah bercerita bahwa Ayah meninggal terkena serangan jantung.
Tapi Ibu tidak pernah memperlihatkan foto atau dokumen apapun tentang Ayah
kepadaku. Ibu beralasan semua dokumen rusak akibat bencana banjir bandang di
desa tempat rumah Kakekku tinggal. Aku percaya dengan semua cerita Ibu waktu
itu.
Setelah kepergian Ayah, Ibu
tidak menikah lagi, Ibu membesarkan aku seorang diri. Ibu pekerja keras yang
sangat mandiri. Ibu ingin sekali membuat aku sukses dan bahagia.
Aku tumbuh tanpa kasih
sayang Ayah. Seringkali aku berkhayal memiliki keluarga yang lengkap dan
bahagia. "Ibu sanggup menjadi Ibu sekaligus Ayah yang baik untukmu nak,
Ibu akan berjuang untuk masa depanmu, fokuslah belajar, supaya kelak kamu
sukses," begitu ucap Ibu setiap kali aku bertanya, mengapa aku tidak punya
Ayah lagi.
Pertemuanku dengan Pak Adi
berawal setahun yang lalu. Sejak Ibu meninggal, aku diasuh oleh Tante Ari, adik
Ibuku yang paling kecil. Tante Ari seorang karyawan pabrik sepatu, sering
pulang malam karena tugas lembur. Hujan deras sore itu, sedangkan Tante belum
pulang dari pabrik dimana Tante bekerja. Akhirnya Tante minta tolong Bu Indah,
wali kelasku untuk mencarikan ojek di depan sekolah untuk mengantarku pulang.
Dan tukang ojek itu ternyata Pak Adi. Kemarin aku baru tahu kalau ternyata Pak
Adi memang selalu siap di depan sekolahku khusus untuk menjemput aku.
Pak Adi orang yang sangat
baik, ramah dan sabar, suka bercanda. Sering beliau rela menunggu aku yang
pulang molor saat ekstrakurikuler berenang. Pak Adi juga selalu siap jika aku
telfon minta tolong diantar ke toko buku untuk membeli buku atau keperluan
sekolah lainnya. Tante Ari juga sangat senang, karena tidak khawatir lagi sebab
ada tukang ojek yang selalu siap sedia mendampingi aku.
Tante Ari tidak mengenal
sosok Pak Adi, apakah mungkin Pak Adi yang ternyata ayah kandungku ini wajahnya
telah banyak berubah, sehingga Tante Ari tidak mengenalinya.
Banyak kenangan melintas di
pikiranku. Sebulan yang lalu, aku ingat sekali. Pak Adi menjemput aku dari
rumah Kinan, temanku, karena kami ada tugas kelompok yang harus diselesaikan.
Karena perutku lapar, akhirnya Pak Adi mengajak aku makan nasi goreng di warung
dekat sekolah.
"Ayo Tania, kita makan
dulu yok, daripada nanti masuk angin, ini sudah malam nak," ajak Pak Adi
sambil memarkir motornya.
"Tapi Pak Adi sudah
ijin Tante belum? Nanti aku dimarahi kalau nggak makan di rumah," kataku
cemas.
"Tenang saja, Pak Adi
sudah WA Tantemu, sudah diijinkan. Tantemu juga pulang terlambat hari ini,
lembur lagi."
Kami makan dengan lahap, Pak
Adi bercerita tentang masa lalunya saat sekolah. Katanya dulu sering dimarahi
guru, karena Pak Adi sering bolos tetapi malah main layangan di lapangan
belakang sekolah.
Pak Adi juga tidak pernah
lupa membawakan sebotol air mineral saat aku berangkat sekolah setiap hari
Rabu. “Ini minumnya dibawa nak, hari ini kamu olahraga kan? Pasti tidak cukup
bekal minummu kalau hanya sebotol. Kamu harus cukup minum supaya tidak
sakit," selalu begitu kata Pak Adi kepadaku.
Aku yang tak pernah bertemu
Ayahku sejak kecil, tak pernah diperhatikan dan disayang oleh Ayah, merasa
sangat bahagia dengan kehadiran Pak Adi dalam hidupku. Beliau sangat
memperhatikan dan menyayangi aku.
Kenyataan kalau Pak Adi
ayahku, aku baca dari surat yang dititipkan Pak Adi ke Ibu Nanik, pemilik
kontrakan yang ditempati Pak Adi. Bu Nanik menyampaikan surat itu sesaat
setelah kabar duka kuterima, Pak Adi meninggal karena sakit di organ pencernaan
ya. Di dalam amplop surat itu juga aku temukan foto copy akte kelahiranku.
Tania, anakku tersayang
Maafkan Ayah ya Nak,
kalau selama ini tidak jujur padamu, tidak terus terang kalau aku Ayahmu. Ayah
tidak punya cukup keberanian untuk bicara hal itu padamu anakku.
Ayah telah lama menunggu
waktu bisa bertemu denganmu. Ayah tidak bisa menghubungimu karena ayah takut
dan malu pada almarhum Ibumu. Ayah punya dosa besar pada Ibumu, sehingga Ibu
sangat benci Ayah.
Ayah sangat menghormati
keputusan Ibumu nak, sehingga Ayah memilih jauh dari Ibu dan kamu. Ayah telah
berusaha minta maaf pada Ibu, tapi luka yang Ayah goreskan di hati Ibumu
terlalu dalam. Ayah sangat maklum itu.
Kalau kamu tahu, Ayah tak
pernah benar-benar pergi jauh dari hidupmu, bagaimana bisa Ayah tidak memperhatikan
anak perempuan Ayah satu-satunya. Setiap hari Ayah selalu menunggu di setiap
gerbang sekolahmu, sejak kamu di taman bermain, taman kanak-kanak, SD, SMP dan
sekarang kamu sudah SMA.
Panjang dan sangat lama
hukuman yang Ayah terima karena kejahatan Ayah dulu. Dua tahun dalam terali
besi telah Ayah jalani. Tetapi hukuman terberat yang Ayah rasakan adalah tidak
bisa lagi ada, memeluk dan melindungi kamu dan Ibumu.
Tania, terimakasih ya
sudah mengijinkan Ayah hadir dalam hidupmu. Walaupun terlalu singkat tapi Ayah
sangat bahagia. Bisa melihtmu tumbuh menjadi gadis cantik yang baik. Sopan dan
tegas, pandai dan mau kerja keras. Ayah bangga padamu Nak. Sekarang Ayah
mengerti mengapa Ibumu sangat sombong tidak mau menerima Ayahmu ini lagi,
ternyata Ibumu benar-benar hebat mendidikmu, walaupun sendiri Ibu mampu
merawatmu sebaik ini.
Tania anakku, Ayah harap
kamu tidak marah dengan kebohongan Ayah. Ingatlah yang indah-indah saja tentang
kita. Semangatlah terus meraih mimpimu menjadi seorang psikolog. Ayah doakan
kamu selalu sukses.
Selamat tinggal Tania,
maafkan Ayah, Ayah selalu menyayangimu Nak.
Kupegang kembali tangan Ayah
yang sudah dingin dan kaku. Meski
batinku ingin Ayah ada dalam hidupku di masa-masa yang akan datang, tetapi inilah kenyataan yang harus aku
terima. Terlalu pahit rasanya.
Aku peluk jasad Ayah dengan tangisan pelan, mungkin
Ayah juga sedang menangis disana. Bagaimana dengan bahagia yang kuharapkan?
Ternyata harus berhenti di titik ini.
Kubayangkan Ayah memelukku
erat, seerat aku memeluk jasad Ayah. Entah perasaan apa yang ada saat ini.
Sedih yang sudah tak bisa dinalar.
Langkah kecilku makin pelan.
Pulang ke rumah. Selesai sudah perjalanan panjang ini. Hatiku terlalu lelah.
Semua sudah usai.
Rafqa Pietra