Si Putih Tersayang
Dilihat : 337
Lara terbangun saat ayam jago baru saja berkokok. Lara, ia adalah anak perempuan, lahir di Desa Kembang dan merupakan anak tunggal, yatim piatu. Ia juga memiliki kegiatan sehari-hari mengurus panti jompo serta ikut tinggal disana. Lara selalu mengawali hari dengan membersikan badan, membuat sarapan untuk dimakan oleh orang-orang tua yang telah di tinggalkan oleh anak-anak mereka.
Inilah awal kisah rumah Lara. Saat umur Lara menginjak usia remeja, Lara sedang duduk di bangku Sekolah Menegah Pertama sambil memperhatikan pelajaran, di pagi yang berawan dan berkabut itu Lara mendapatkan panggilan dari tetangganya yang mengatakan
“Nak Lara tolong pulang cepat ya nak, tante udah izinin kamu ke wali kelas mu”
Lara mulai berfikir hal yang paling ia takuti, Lara menjawab penuh penasaran
“ Tapi ada apa ya tan? Apakah sepenting itu? Kenapa tidak katakan sekarang saja?”
Yang awalnya suara dari panggilan itu berbicara dengan lantang kini berubah menjadi suara gemetar dan juga lirih
“ Pulang saja nak, kamu akan tau”
Lara menggambil tas sekolahnya lalu pamit kepada guru yang mengajar di kelas dan juga pamit kepada wali kelasnya, ia berjalan kaki kesekolah lalu sekarang iapun berjalan kaki kembali, tetapi dengan langkah kaki yang cepat dan juga tergesah-gesah. Nafas Lara sudah tidak tentu, selama perjalanan air mata lara sudah mengalir perlahan-perlahan seolah batin itu sudah mengetahui apa yang telah terjadi dirumah tempat ia berpulang, rintik-rintik air hujan turun dan mengenai muka Lara serta membuat air mata yang semula reda berubah menjadi deras.
Didepan gerbang jalan menuju rumah Lara, ia melihat sepanduk kecil berwarna putih telah basah kuyup tertimpa hujan, Lara mulai berlari semakin cepat dan sangat cepat hingga sampai di depan rumah nya, ia melihat banyak sekali para tetangganya menggunakan baju serba hitam dan menangis sessengukan sambil memanggil nama Lara, panggilan itu berputar di dalam kepalanya
“ NAK LARAHH!! SADAR NAKKKK!! HARUS TABAH NAK!!”
Lara mengahampiri sesuatu yang membuat keramaian dirumahnya. Ayah dan juga ibu Lara terbaring dan telah tertutupi oleh kain putih serta kapas yang menutupi saluran tempat mereka bernafas, Lara terduduk di hadapan orang tuanya karena tumit serta kakinya terasa lemas dan tidak ada tenaga. Laras berharap dan memohon itu adalah mimpi belaka tetapi suasana suram dirumahnya menyadari dirinya bahwa kenyataanya ia telah ditinggalkan.
Lara ditinggalkan selama-lamanya oleh kedua orang tuanya yaitu, ibu Atika dan ayah Barakat. Semenjak kepergian mereka Lara terlihat seperti badan tanpa jiwa, itu yang dikatakan oleh warga-warga sekitar. Hari demi hari Lara lalu dengan perasaan sedih dan juga rindu karena dimatanya ia hanya sebatang kara. Ia menggangap hidup sekarang begitu berat membuat Lara jarang makan dan juga di sekolah tatapan mata indahnya itu selalu kosong.
Sebulan setelah hari duka bagi Lara telah berlalu. Teman, guru, dan tetangga Lara merasa khawatir dan cemas dengan Lara. Karena, Lara yang mereka tau adalah anak yang selalu tersenyum, memperhatikan kerapihan diri, dan juga memilki semangat yang tinggi untuk mendapatkan nilai-nilai yang sempurna, tetapi kini Lara terlihat seperti bukan dirinya lagi, senyum itu hilang, rambut serta seragam itu kusut, nilai Lara seketika menurun. Guru serta teman-teman berusaha untuk menghibur tapi Lara hanya terdiam dengan tatapan kosong.
Disaat itu banyak sekali burung-burung berkicau serta angin memasuki ruangan kelas melalu jendela yang terbuka. Lara duduk sendirian, sahabat Lara yaitu Asyha mengajak Lara untuk memakan bekal bersama-sama tetapi, Lara tak membawa uang ataupun bekal untuk makan, sangat mengejutkan bagi Lara ternyata pada saat itu Asyha mengeluarkan dua bekal dan membujuk Lara untuk makan, dan Lara menerimanya karena, ia mengetahui cara menghargai pemberian seseorang yang telah memahami kondisi kita.
Lara menggulung kerah pada pergelanggan seragamnya agak tidak kotor, tampa disadari oleah Lara, Asyah sedari tadi memperhatikan semua yang sedang dilakukan Lara, Asyha tak menyangka ia melihat banyak sekali goresan seperti sayatan di pergalangan tangann Lara. Asyah ingin bertanya tetapi ia tidak ingin merusak suasanya sebagai sahabat, Asyah hanya bisa berkata
“Makan pelan-pelan ya, jika ingin cerita apapun itu kamu bisa cerita kepada ku. Aku selalu ada disini”
Setelah Asyah menggatakan itu perlahan-lahan senyum manis terukir di pipi besar Lara dan mereka melanjutkan makan serta melanjutkan pelajaran. Bel pulang telah berbunyi, siswa-siswa berserta para guru-guru mulai berjalan menuju gerbang karena ingin segera pulang, tetapi tidak dengan Lara dan wali kelasnya yaitu Bu Astuti. Bu Astuti menunggu Lara di depan pintu kelas bewarna putih itu hingga di kelas hanya tersisa Lara, lalu mendekati dengan langkah kaki yang pelan.
“ Nak ibu izin mengingatkan kamu ya. Ibu dulu seperti kamu nak, ibu anak sulung dari tiga bersaudara dan di tinggalkan waktu di nyatakan akan menaiki bangku Sekolah Menengah Atas, lebih tepatnya tepat di saat ibu pulang membawa lapor kelulusan sekolah ibu dan adik-adik ibu. Rasanya sakit nak, ibu depresi. Hingga ibu menyadari pasti ayah dan ibunya ibu akan sedih melihat ibu tak mengikhlaskan kepergian mereka, jadi ibu harap perlahan-lahan kamu belajar. Tetap kuat nak kamu hebat, kami semua sayang kamu”
Ibu Astuti dan Lara keluar gerbang bersama-sama dan Astuti tersenyum selama perjalanan pulang. Saat kembali kerumah suasana sore itu terasa sangat indah, di jalan banyak sekali orang-orang berumur lansia berjalan-jalan santai sambil berbincang-bincang dan tertawa bersamaan dengan dedaunan pohon yang tersapu-sapu oleh angina membuat rasa sejuk. Setelah melihat hal itu tiba-tiba saja Lara ingin berberes rumah merawat rumah penuh kenangan itu.
Waktu telah berlalu lumayan lama, rumah itu bersih dan enak untuk di pandang. Larapun mumbuka pintu depan sambil membawa kantong sampah berisikan debu, setelah membuka pintu ia melihat di hadapanya ada dua nenek-nenek yang ingin menyeberang tetapi jalanan dipenuhi oleh kendaraan umum yang berlalu-lalang, Lara mendekati nenek-nenek itu dan menawarkan diri untuk membantu mereka menyeberangi jalan, nenek-nenek itu menerima tawaran Lara dan mengandeng kedua tangan lara. Sesampainya di seberang jalan nenek-nenek itu berkata
“ Makasih ya nak, kamu sudah membantu kami yang kesusahan ini, seandainya nanti di desa ini ada panti jompo yang memiliki pengurus seperti kamu, tentunya kami akan sangat senang. Kami duluanya ya nak.”
Lara kembali menyeberangi jalan itu lalu memasuki rumahnya, ia membuka pintu kamar orang tuanya dan tidur di kasur mereka. Ia mengambil bingkai yang berisikan foto Lara, ibu, dan ayah lalu berkata
“Jika sudah besar dan sukses aku ingin dan berusuha membuat panti jompo untuk orang tua lansia yang ada disini, Aku harap ibu dan ayah mendukungku dan aku akan menamai panti jompo milik ku dengan nama kalian”
Semenjak malam itu, Lara kembali menjadi Lara yang dulu. Ia memiliki semangat belajar yang tinggi, ia merawat dirinya lagi dan tersenyum hingga tak terasa, 7 tahun telah berlalu. Lara telah menjadi mahasiswa berprestasi, bukan hanya itu mimpinya telah terwujud ia membangun panti jompo yang dinamai dengan nama orang tuanya. Ia membangun panti asuhan itu di halaman rumahnya yang cukup luas dan ia juga yang mengurus mereka.
TAMAT.
AzizahZairani