Perempuan yang Membenci Pagi
Dilihat : 162
Semua harapan
berkembang. Kadang, bisa saja runtuh dalam perjalanan. Pagi menjadi pembuktian.
Hari dimulai, semua petani membawa harapan masing-masing. Harapan itu ditanam
perlahan. Menyesuaikan luas lahan yang kian menyusut. Bertegur sapa dengan
harapan lain. Bertumbuh, bahkan tanpa pupuk.
“Mbok, Jarwo minta dibuatkan
jenang sama gethuk,” begitulah ungkapan isi hati Jarwo. Masih terekam jelas
menghiasi pagi Mbok Asih. Pagi buta, ia sudah menggendong bakulnya. Mengikat
kencang pada bahunya. Membawa nasib, begitu kala ia ditanya. Tak ada tujuan
lain, tentu ke pasar. Menukar apa saja yang ada di bakulnya. Berharap pulang
membawa harapan.
“Nanti ya le, doakan saja
dagangan Simbok bisa laris,” kata itu terucap. Menjadi penenang, untuk
keduanya. Bagi Jarwo, jenang merupakan makanan kesukaannya. Bisa menunggu
berminggu-minggu, bahkan bisa berbulan-bulan supaya bisa makan jenang.
“Iya, Mbok,” dan setelah itu,
senyuman terpampang di wajah Jarwo.
Kalau saja ada jalan lain, pasti
dicoba oleh Mbok Asih. Ia sudah lelah. Mengolah sawah. Mengurusi Jarwo. Tapi,
anaknya itu menjadi alasan untuk bersyukur. Hidup harus terus dijalani. Harapan
harus terus berkembang. Bahkan, rela untuk berutang demi sebuah kebahagiaan.
“Nempil sayur e, yu. Buat sayur
bening seger-seger ini,” kata Mbok Asih pada kawannya. Pedagang sayuran yang
tampak murung. Tak ada harapan di dalam sorot matanya. Seperti ketakutan.
Sebelum jam sepuluh pagi. Ia harus segera punya uang seratus ribu. Untuk
membayar cicilan.
“Iyo, milih saja, yu,”
“Dadi bakul sekarang sulit ya,
yu. Dagangan pada gak laku, pasar diminta pindah ke sana-sini. Belum lagi,
rencana pasar digital itu. Yang bisa jualan malah mereka yang punya buat
digital-digital. Pedagang sek punya sayuran malah cuma ndomblong,” keluh Mbok
Parjiem sambil mendekati bakul Mbok Asih.
“Bawa apa ini, yu. Singkong ya ?
Wah. Singkongnya mantep ini, saya mau dong !”
“Iya, anakku minta dibuatkan
jenang sama gethuk, makanya aku ke pasar,” jawab Mbok Asih dengan penuh
harapan.
Tak ada jawaban lagi, dua
perempuan pejuang pagi itu saling memilah dagangan. Memastikan, apa yang
dipilih benar-benar terbaik.
“Sudah, yu. Ini saja,” kata Mbok
Asih.
“Ini, aku ada nasi kuning. Nanti
buat Jarwo ya, yu. Sudah lama, aku tidak ketemu Jarwo. Semoga ada kesempatan
untuk bertemu lagi,” ujar Mbok Parjiem menyerahkan dua bungkus nasi kuning.
Mbok Asih senang, ia berencana
langsung pulang. Akan tetapi, bahan untuk membuat jenang belum didapatkan.
Langkah dilanjutkan ke dalam pasar. Menyusuri ramainya penjual.
“Jualan apa, Mbok ?”
“Ada singkong. Mau, nduk ?”
Tak ada jawaban, perempuan yang
mendekati Mbok Asih langsung pergi begitu saja. Tidak seperti dulu, orang
bertanya dan melihat. Sekarang, semua mau serba cepat. Bahkan, kalau bisa tidak
usah ada omongan. Itu dikeluhkan Mbok Asih, lama-lama ia membenci pagi. Tapi,
dari pagi semua harapan dimulai. Enggak bertemu pasar. Namun, pasar menjadi
sumber harapan untuk menyambung hidup.
“Kalau dulu kamu nggak sama
Tono, paling sekarang kamu sudah nyaman di rumah. Jadi istri bupati,”
“Meski istri kedua, sih,” begitu
ucap Hardoyo, penarik becak kala bertegur sapa dengan Mbok Asih.
Hardoyo merupakan teman masa
kecil Mbok Asih. Ia tidak menikah, bujang lapuk, begitu kata Mbok Asih kala
mengejeknya. Saling ejek.
“Ah, sama saja. Hidup pasti
punya masalahnya masing-masing, Har. Sudah narik berapa kali ini, kok sudah
asyik merokok,”
“Narik semangat po yu, belum ada
penumpang. Sekarang, tak ada orang naik becak. Kecuali, mereka sedang wisata.
Maunya serba cepat,” keluh Hardoyo.
Mbok Asih menggelengkan kepala.
Perlahan, ia meninggalkan pasar. Dibenaknya, terbayang wajah senang Jarwo
karena nanti dibuatkan jenang.
“Ada apa ini ?” tanya Mbok Asih
kebingungan. Rumahnya ramai dikunjungi orang. Ada petugas pakai helm juga.
“Jarwo tercebur sumur, Bu !”
Hening. Semua suara di rumah
Mbok Asih tak terdengar. Perempuan setengah baya itu kian membenci pagi. Ia
berandai, tak usah ke pasar pasti anaknya yang autis itu tak akan bertingkah
aneh-aneh. Tapi, terlambat.