Merdeka untuk Pertiwi
Dilihat : 1078
Pagi
menjelang siang, di tanggal 17 Agustus yang sedari tadi riuh oleh berbagai
lomba dan perayaan ... tampak seorang gadis kecil menatap penuh arti ke arah
jendela. Pandangannya utuh menyisir belasan bendera merah putih di sepanjang
pinggir jalan. Dengan telinga yang awas mendengar lagu-lagu kemerdekaan yang
diputar dari Balai Desa sejak mentari menyapa bumi.
“Pertiwi, kamu
tidak ikut lomba Agustusan?” tegur Tara, kakak laki-lakinya yang hendak sibuk mengerjakan
buku-buku kumpulan soalnya.
Gadis kecil
itu menggeleng lesu.
“Aku sedang merenungkan
sesuatu, Bang. Semakin kesini semakin bingung sebenarnya apa yang dimaksud dengan
kemerdekaan itu dan bagaimana sebaiknya kita memperingatinya? Apakah boleh ikut
perayaan dengan dalih mengenang jasa-jasa pahlawan? Atau cukup mendoakan dan
meneladani sifat-sifat kepahlawanan?”
Tara terkesiap,
tak mampu berkata-kata mendengar pertanyaan si bungsu.
“Tumben
seorang Tiwi yang tahunya makan dan main kritis begitu?” Senggol Hayu, si
sulung yang kebetulan sedang membantu Ibu meragi tempe di tempat yang sama
dengan berlangsungnya percakapan adik-adiknya.
Pertiwi
mencebikkan bibir. Pernyataan kakaknya memang tidak salah. Ia yang kerap kali pergi
keluyuran dan pulang hanya di jam-jam makan, mandi, dan sembahyang, memang
pantas dibilang demikian – namun tetap saja ia kesal.
“Menurut Mbak
Hayu sendiri, merdeka itu apa?”
“Euum, saat kita
bebas mencintai tanpa diinterupsi oleh status ekonomi,” jawabnya. Mendadak ingatannya
melayang pada sebuah petang yang penuh caci-maki. Ia meringis, berusaha
menguasai diri agar tak lagi terkenang satu episode menyedihkan itu kembali.
“Intrupsi
apa?” gadis 7 tahun itu mengernyitkan keningnya. Ia kesusahan mencerna kalimat sang
Kakak – hanya mengerti frasa ‘bebas mencintai’.
Walau tak
ada penjelasan, dua penggal kata itu cukup menerangkan tentang keadaan gadis 20
tahun yang baru-baru ini dilabrak tuan tanah di desa mereka. Katanya, disinyalir
dekat dengan anak semata wayang dari keluarga tersebut.
“Ah, ngomong
apa sih aku sama anak kecil!” Hayu tertawa. Meski begitu mata bulat Pertiwi berhasil
menangkap butiran air yang mengembun di sudut mata kakaknya.
Ia
memutuskan untuk berhenti bertanya. Terlalu lancang rasanya menabur garam di
luka basah milik seseorang yang tengah berjuang. Ini kali pertama kakaknya
mengenal cinta. Dan pertama juga ia harus menelan rasa pahitnya.
“Sudahlah, Mbak.
Nggak usah diingat-ingat hinaan Jurangan Darmanto. Wong Mas Damar kok
yang sering mampir ke rumah untuk beli tempe buatan Bapak Ibu. Kenapa Mbak Hayu
yang dituduh merayu-rayu. Wes nanti kalau kesini lagi, tak suruhnya
pergi!” Tara berapi-api. Ia ingat, semuanya berawal dari Mas Damar yang memasok
kebutuhan tempe untuk bisnis rumah makannya. Dan kakaknya, yang terbiasa
mengurus perihal pemesanan tak menunggu waktu lama untuk bisa cepat akrab dengan
lelaki baik hati tersebut. Sesuatu yang sangat disesalkan mengingat betapa jauh
perbedaan antar keduanya. Meski demikian, Tara bertekad untuk berada di garda
terdepan ketika siapapun merendahkan harkat-martabat keluarganya. Sekali pun
mungkin harus melawan status tinggi dari keluarga si laki-laki.
Dan tindakan
pembelaan itu dinilai sebagai versi merdeka seorang Tara di mata Pertiwi. Bagi Abangnya,
melindungi saudari-saudarinya adalah harga mati. Lelaki itu selalu siap menjadi
tameng kapanpun dibutuhkan.
“Bahas apa
sih anak-anak, kok seru sekali!” Bapak masuk, tangan kirinya membawa sisa tempe
yang tak habis terjual di pasar. Sementara di tangan sebelah kanan, ada
bungkusan jajanan tradisional yang tak butuh waktu lama telah berpindah ke atas
meja dan siap untuk dinikmati bersama.
Bapak ikut
duduk. Sekali lagi mengulang pertanyaan.
Semua yang
ada di ruangan – kecuali Bapak – berpandangan. Demi melihat keringat yang
bercucuran dari dahi Bapak, mereka memilih bungkam. Menyebut nama Tuan Tanah
hanya akan melukai harga diri Bapak; sebagai tulang punggung dan pelindung
keluarga.
“Ini si
Bungsu, penasaran sekali sama makna kemerdekaan bagi kakak-kakaknya,” seloroh
ibu seraya sigap menuangkan air putih dari kendi untuk Bapak yang langsung
meneguknya tanpa sisa.
“Ya, betul!
Kalau merdeka versi Bapak itu yang seperti apa?” todong Pertiwi penasaran. Mendengarkan
jawaban Bapak adalah kegemarannya, karena terkadang ia bisa menerkanya lebih
cepat hanya dari bahasa mata lelaki tersebut.
Bapak tersenyum,
sekilas menatap binar mata putri bungsunya sebelum utuh menelanjangi tumpukan
kedelai yang tengah diproses Ibu dan Hayu.
“Apa ya?” Bapak
pura-pura berpikir keras. Ingin rasanya ia mengatakan makna kemerdekaan baginya
adalah merdeka secara finansial. Pemerintah lebih memperhatikan kebutuhan
rakyat kecil dan tidak semena-mena dalam menaikkan harga BBM dan sembako –
termasuk kedelai bahan baku pembuatan tempe sumber mata pencahariannya.
“Biar Tiwi
tebak, merdeka untuk Bapak adalah ketika Bapak bisa memberikan kehidupan yang
layak untuk kami semua, kan? Tenang saja, Tiwi akan bantu doa
sebanyak-banyaknya ... biar Mbak Hayu dapat jodoh yang baik, Bang Tara keterima
di PTN favorit dengan beasiswa penuh, lalu Bapak Ibu sehat selalu agar bisa
sekolahin aku sampai sarjana.”
Tidak
sepenuhnya tepat memang. Tetapi Bapak cukup bangga dengan tajamnya pemikiran
Pertiwi. Ketiga anaknya – yang kesemuanya diberi nama berkaitan dengan tanah
airnya; Dirgahayu, Nusantara, dan Pertiwi – kendati lahir dari rahim kemiskinan,
memiliki otak yang luar biasa cerdas. Sudah banyak piala yang mereka peroleh
dari berbagai lomba mulai dari tingkat kabupaten hingga nasional. Tetapi, si
kecil Pertiwi ini berbeda. Untuk anak seusianya, bukankah pemikirannya tampak
begitu matang?
“Ya, terima
kasih Pertiwi. Bapak memang ingin memberikan yang terbaik untuk keluarga ini. Kalau
menurut Ibu bagaimana?” lelaki paruh baya itu mengoper pertanyaan.
“Ya, kalau
buat Ibu sih ... Suami dan anak-anak sehat serta bahagia, sudah cukup kok!”
timpal Ibu yang didukung anggukan kepala Bapak.
Ketiga
kakak-beradik itu tersenyum, saling pandang – menguatkan. Ketika suasana begitu
mengharu-biru, sebuah panggilan dari luar memecah semuanya. “Tiwi, ikut lomba
Agustusan, nggak?! Hadiah utamanya sepeda, lho!”
“Ikuuut!!
Tunggu sebentar yaa, aku keluar!” sahut gadis itu menyambar jilbabnya. Ia mencium
takzim tangan kedua orangtuanya dan setengah tergesa membuka handle pintu.
Pemandangan
itu sontak saja membuat seisi rumah menyadari bahwa sedewasa apapun Pertiwi
terlihat, ia tetap anak kecil yang masih senang bermain dan berkawan.
“Eh, kamu
nggak tanya pendapatku, Tiwi?” pertanyaan Abangnya menghentikan langkah Pertiwi.
Gadis itu menggeleng, lantas menjawab cepat, ”Aku sudah tahu, kok.”
“Kalau
begitu, buat Tiwi sendiri ... merdeka itu apa?” seloroh Tara balik.
“Merdeka
buat Tiwi itu ketika masih diberikan kesempatan hidup sama Gusti Allah. Dan
dengan kesempatan itu, Tiwi tidak sekedar bertahan hidup tapi juga bisa memberi
arti hidup pada orang lain.”
“Pertiwi,
ayo!” teriakan diluar terdengar tak sabar.
“Aku
datang!” Pertiwi berlari keluar, menutup pintu dan menghilang bersama
langkah-langkah kecilnya. Meninggalkan keempat orang yang mematung dalam
kesunyian.
Tiba-tiba
saja mereka merasa malu, pada anak sekecil itu yang begitu bijak memaknai
kemerdekaan di hidupnya. Tidak sekadar memikirkan untuk bertahan hidup atau
keinginan yang berpusat pada pencapaian diri sendiri, tetapi sampai pada
pemahaman bahwa sejatinya hidup haruslah memberi arti bagi yang lainnya.
Ah, Pertiwi.
Terima kasih sudah memberikan pelajaran berharga buat kami.
Izzah Uswaturi