Jangan Bakar Aku
Dilihat : 171
Regina dan Richard duduk termangu di sisi ibu mereka yang sudah seminggu tergeletak di ranjang rawat inap dengan alat bantu pernapasan. Regina yang sadar sudah saatnya mempersiapkan diri melepas ibunya, memulai percapakan yang selama ini Richard merasa canggung untuk membahasnya. Di usia 40-an, kakak beradik itu masih melajang dan memang berencana untuk terus begitu sehingga mereka sempat kesulitan untuk memutuskan apa yang harus mereka lakukan setelah kematian ibu mereka. Mereka berpikir dengan garis keturunan yang terhenti di mereka, mengkremasi ibu mereka adalah keputusan yang paling baik. Mereka juga sepakat bahwa ketika mereka meninggal nanti, mereka berkenan untuk dikremasi. Namun, ucapan ibu mereka selalu terngiang-ngiang di benak mereka. Jangan bakar aku. Aku takut kepanasan.
Regina sudah beberapa kali menyatakan beberapa argumen pendukung mengapa kremasi adalah jalan terbaik; serba mudah dan murah, mudah untuk diperingati dan murah untuk dirawat. Dia bahkan mengingatkan ibunya akan pengalaman pahit di kuburan; ketika berkunjung ke makam ayah, dia melihat banyak kuburan terbengkalai karena sudah tidak ada sanak saudara yang merawat entah karena cucu atau cicit tidak tahu menahu atau sekedar tidak mau tahu. Terlebih lagi, biaya perawatan kuburan mahal dan sering dimainkan. Mereka harus membayar biaya iuran tahunan untuk sewa tempat makam ayah mereka, lalu membayar biaya perawatan bulanan untuk membersihkan makam dari rumput liar. Kadang Regina suka marah sekali ketika mendapati rumput liar sudah rimbun padahal uang perawatan rutin dibayarkan. Ketika ada yang datang berkunjung, barulah para petugas membersihkan dengan menagih biaya bersih-bersih. Kalau ada cat yang mengelupas atau nisan yang sudah goyah dan perlu diganti, Regina akan menyuruh petugas merevitalisasi dengan biaya yang mereka tetapkan, namun tidak dikerjakan juga.
Regina dan Richard sibuk bekerja sedangkan ibu mereka sudah sakit-sakitan, jadi mereka jarang bisa meluangkan waktu untuk mengunjungi makan ayah. Kendati demikian, ibu tetap bersikeras mau dikuburkan di sebelah ayah. Regina sempat geram dan sampai berpikir, ketika ibu meninggal nanti, yang bertanggung jawab adalah Regina dan Richard, jadi seharusnya merekalah yang mengambil keputusan. Mungkin terkesan dingin dan kasar, namun Regina memang tidak sanggup dan tidak tega kalau nanti makam ayah dan ibu mereka sampai terbengkalai dan malah ditimpa makam baru di atasnya. Regina bahkan sudah membahas untuk menggali makam ayah untuk melakukan prosedur kremasi yang ditentang ibu habis-habisan.
“Dasar anak durhaka, dulu kami merawat kamu, sekarang kamu bahkan terang-terangan bilang tidak mau repot dengan kematian kami. Mau mati saja susah, tidak bisa tenang!” Begitu teriak ibu.
Richard lebih memilih untuk diam. Dia tidak nyaman membahas hal-hal seperti ini. Menurutnya, apa yang belum terjadi, tidak semestinya dikhawatirkan sekarang sehingga merusak ketenangan saat ini. Dia juga merasa Regina sudah cukup keras menyuarakan perihal ini sehingga lebih baik dia tidak memperkeruh suasana.
Tadinya Regina dan Richard pikir mudah saja untuk membuat keputusan kremasi untuk ibu ketika mengalami sulitnya merawat makam ayah. Tapi, mereka tetap saja merasa tidak enak, apalagi setelah pertengkaran dan perkataan sengit ibu yang mengakibatkan kondisi ibu menurun drastis. Regina takut menjadi anak durhaka sedangkan Richard takut digentayangi. Seketika itu juga, mereka mulai mempersiapkan peti mati dan makam untuk ibu mereka. Regina meneteskan air mata, hatinya perih. Semua perdebatan yang menjauhkan hubungannya dengan ibu sia-sia belaka. Ibu meninggal dengan perasaan takut dan kecewa akan dibakar anak-anaknya yang tidak mau repot.
***
Regina menebarkan segenggam bunga semerbak ke lautan luas dari perahu yang berlayar pelan. Dia mengambil segenggam lagi dan lagi sampai keranjangnya kosong. Hembusan angin menerpa pipinya lembut dan membuat hatinya hangat. Regina membayangkan Richard yang kembali menjadi abu telah bersatu dengan lautan luas. Regina mencelupkan tangan kanannya ke air laut dan merasakan sentuhan sejuk adik tercinta.
Ketika tahu ajalnya sudah dekat, Richard tersenyum memandang kakaknya dari ranjang rumah sakit dan berkata lirih, “Bakar aku.” Regina langsung bangkit dari perasaan lara akan hidup sebatang kara seakan terhibur mendengar permintaan adiknya itu, “Dengan senang hati”. Bulan lalu, Regina menebar abu Richard, melepasnya pergi ke laut lepas. Sore itu, dengan perahu kecil, Regina mengarungi pantai masuk dalam dekapan ombak Richard yang memanggilnya lirih, kamu tidak sendiri, aku di sini menemani.
***
Tidak ada lagi yang membayar iuran makam ayah dan ibu. Penjaga sudah menagih berkali-kali ke Regina melalui Whatsapp disertai peringatan bahwa tidak membayar sewa bearti melimpahkan tanah untuk orang lain. Lima tahun tidak kunjung mendapat jawaban, penjaga menjual kedua lahan tersebut untuk pasangan suami istri yang menantikan kematian mereka. Tadinya penjaga berencana menumpuk peti baru di atas peti mati kedua orang tua Regina. Namun, ketika melihat peti itu masih bagus saat menggali untuk persiapan pemakaman di atasnya, penjaga pun memiliki ide untuk menjualnya saja untuk tambahan tabungan bekalnya pensiun nanti. Siapa sih yang ingin terus-terusan jadi tukang gali dan jaga kubur? Dia ingin segera leha-leha di rumah begitu uangnya terkumpul.
Pria itu mengutarakan ide brilian untuk menjual peti yang masih bagus itu kepada temannya karena bagaimanapun juga temannya sudah terlajur menggali bersamanya. Mata temannya berkilat karena dia pun memikirkan hal yang sama. Jadilah mereka memanggil anak-anak mereka untuk membantu mengangkat peti dan menggotongnya ke tempat pembersihan.
“Sekalian saja kita angkut peti istrinya. Toh sudah lima tahun mereka menunggak uang iuran. Bisa jadi anak-anak lajang tua mereka juga sudah mati.”
“Ya, bisa jadi. Semisal masih hidup dan suatu saat kembali, kita katakan saja karena mereka sudah menunggak uang lima tahun, kita cabut nisan mereka dan kita tumpuk peti lain di atasnya berhubung lahan kuburan di sini memang sudah menipis. Toh, kita sudah kirim pesan peringatan, tapi tidak pernah direspons. Coba saja kalau berani balik kemari, kita tagih tunggakan beserta bunganya.”
“Cerdik sekali dirimu. Aturan kau jadi pejabat.”
“Ya, maunya sih begitu, tapi apa boleh buat, makan saja susah, boro-boro bayar sekolah. Sudah cepat kita angkut peti satunya dan kita bersihkan langsung keduanya di sini. Aku ambil masker dan sarung tangan dulu ya, baunya bakalan busuk banget nih.”
“Oke, aku siapkan api pembakaran buat mayatnya di belakang kebun ya. Nanti kita bakar mayatnya malam hari setelah sepi.”
Condong Catur, 29 Juni 2023
Odelia Yulita